Dasar Hukum Pemotongan Upah Akibat Terlambat Hadir Bekerja

Foto ilustrasi (kredit mediajampikum.com)
Foto ilustrasi (kredit mediajampikum.com)

Solidaritas.net – Dalam hubungan industrial, sering kali ditemui praktek pemotongan upah terhadap buruh yang terlambat hadir bekerja. Aturan ketenagakerjaan yang berlaku tidak secara khusus mengatur tentang potongan upah dikarenakan terlambat hadir. Apa dasar hukum pemotongan upah akibat buruh terlambat hadir bekerja?

Pada dasarnya, pemotongan upah akibat buruh terlambat hadir dalam bekerja, didasarkan pada asas no work no pay, yang berarti buruh tidak dibayar apabila tidak bekerja. Hal ini diatur pada pasal 93 ayat (1) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang menyebutkan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

Namun terdapat pengecualian terhadap asas ini, seperti diatur pada pasal 93 ayat (2) dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu:

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anakatau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Selanjutnya, pada pasal 95 ayat (1) dan (3) dalam UU Ketenagakerjaan diatur sebagai berikut:

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

Terkait pengenaan denda ini, secara khusus telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, pada pasal 20 sebagai berikut:

(1) Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
(2) Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
(3) Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
(4) Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, pengusaha dapat melakukan pemotongan upah sebagai akibat buruh terlambat hadir bekerja dengan syarat, hal tersebut telah disepakati sebelumnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Sehingga jika tidak diatur sebelumnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama (PKB), pengusaha tidak dapat melakukan pemotongan upah terhadap keterlambatan buruh dalam hadir bekerja.

Editor: Andri Yunarko

Tinggalkan Balasan