Bengkulu – Sebanyak empat orang tertembak saat melakukan demo tolak tambang di lokasi PT Cipta Buana Seraya (CBS) Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, Sabtu (11/6/2016).
Penolakan warga terhadap penambangan batu bara di Merigi Kelindang, Bengkuli. Foto: cumakita.com. |
Mereka adalah Marta Dinata warga Desa Kembring, tertembak di perut hingga tembus, Yudi warga desa Kembring, tertembak di bagian perut. Alimuan warga desa Durian Lebar, tertembak di tangan, dan Badrin warga desa Durian Lebar tertembak di bagian leher dan paha. Keempat korban dirawat di Rumah Sakit M. Yunus.
Aksi kali ini adalah bentuk kekesalan warga terhadap pemerintah yang tidak pernah menanggapi aksi-aksi sebelumnya. Salah seorang korban, Alimuan menceritakan, sebelum aksi berlangsung, Koordinator Forum Anak Rejang Gunung Bungkuk dipanggil oleh pihak pemerintah, katanya hari itu bupati akan datang dan memutuskan apakah tambang dilanjutkan atau tidak.
Ketika warga datang, di lokasi PT CBS sudah banyak polisi, brimob, dan tentara. Sekitar 500an aparat berjaga dengan bersenjata lengkap.
“Saya di barisan tengah dengan beberapa korban yang lainnya. Saya tidak begitu tahu apa yang terjadi didepan, tiba-tiba chaos. Marta Dinata adalah korban pertama yang tertembak oleh polisi yang berada dibelakang brimob. Aparat menggunakan peluru tajam makanya sampai menembus perut Marta Dinata,” tuturnya dikutip dari siaran pers, Sabtu (11/6/2016).
Selongsong bekas peluru yang diduga digunakan oleh polisi. Foto: Facebook |
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Kasrawati, warga desa Susup, bahwa kejadian hari ini adalah luapan kemarahan warga atas ketidakjelasan dan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat selama ini. Apalagi pagi itu masyarakat dijanjikan akan ada pejabat yang mau datang pada pukul 10.00 WIB, saat warga datang ternyata sudah banyak aparat di lokasi.
Koordinator forum, Nurdin tidak mampu membendung kemarahan warga. Akibatnya aksi menjadi tidak terkendali. Warga memaksa masuk ke lokasi pertambangan namun dihadang oleh aparat. Aparat menembakkan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.
Selama ini warga memang getol menolak keberadaan tambang, saat pertemuan di Badan Lingkungan Hidup provinsi Bengkulu pada 15 Januari 2016 warga sudah mengatakan menolak. Walaupun ada tiga kepala desa yang setuju, itu karena desa mereka jauh dari lokasi pertambangan underground.
Warga juga pernah melakukan aksi memasang tombak dengan bendera dan plakat yang bertuliskan “masyarakat menolak sistem underground” sebagai simbol penolakan pada 7 Mei 2016 lalu. Sekitar 1300 orang mengikuti aksi tersebut.
Warga menolak tambang bukan hanya karena merusak lingkungan, tapi lubang tambang yang tidak ditimbun kembali (reklamasi) itu sudah mengakibatkan seorang anak meninggal dunia.
Menanggapi tindakan represi aparat, WALHI, KPA, KontraS, JATAM dan organisasi masyarakat sipil lainnya mengecam tindak kekerasan, arogansi dan ketidakprofesionalan aparat kepolisian tersebut.
Terlebih dalam pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil beberapa waktu yang lalu, Kapolri, Jendral Polisi Badrudin Haiti menyampaikan komitmennya bahwa Polri tidak akan lagi terlibat dan memasilitasi perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, karena selama ini Polisi yang selalu disalahkan.
“Badrodin Haiti juga mengungkapkan bahwa Polri akan mengambil sikap, meminta Instansi terkait untuk menyelesaikan konflik Sumber Daya Alam (SDA) nya,” tegas Haris Azhar, Koordinator KontraS.
Oleh karena itu, WALHI, KPA, KontraS dan JATAM mendesak agar kepolisian menghentikan penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menangani konflik lingkungan hidup dan SDA/agraria, serta tidak lagi memfasilitasi dan berpihak kepada perusahaan yang berkonflik dengan warga.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan warga dan menghentikan pertambangan yang merusak. Peristiwa ini harus menjadi peristiwa terakhir dan menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik lingkungan hidup dan agraria di Indonesia.