Di Balik Aksi Pembakaran PT. IWIP Saat Peringati May Day 2020

0
Aksi buruh PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT. IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara saat peringati Hari Buruh, pada Jumat (1/5/2020) Foto/youtube

Solidaritas.net – Ribuan buruh di PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT. IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara, menggelar aksi peringati Hari Buruh Internasional, pada Jumat (1/5/2020) di pabrik. Demonstrasi sekaligus deklarasi sebuah aliansi pergerakan sektoral Forum Perjuangan Buruh (FPB) ini berakhir ricuh.

Dalam video yang beredar luas di media sosial dan ditayangkan di televisi nasional, tergambar sedang terjadi kericuhan dengan aksi saling lempar antara para buruh dengan pihak keamanan perusahan industri pertambangan itu.

Sebuah unit berbentuk warung terbakar ludes di dalam lingkungan pabrik. Ini kemudian jadi headline pemberitaan media mainstrem, terutama siaran TV Nasional bahwa buruh sedang melakukan ‘penjarahan’ dan membakar perusahan milik patungan tiga investor asal Tiongkok, itu.

Sekitar 11 orang juga diamankan aparat kepolisian di areal security perusahan karena diduga sebagai provokasi hingga terjadi sejumlah pengrusakan fasilitas perusahan tambang nikel tersebut.

Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Memperburuk Nasib Buruh Outsoucing

“Ada beberapa sekitar 11 orang itu yang kami indikasikan melakukan penjarahan, melakukan pengrusakan, dan yang satu kami duga sebagai salah satu provokatornya,” ujar Kapolres Halmahera Tengah, AKBP Nico A. Setiawan, mengutip wawancara via telewicara di tvOne, pasca aksi tadi.

Lantas, apa sebenarnya yang dituntut ribuan buruh tersebut hingga terjadi ricuh sampai media memplintir bahwa aksi itu bakar pabrik? Solidaritas.net, menghubungi langsung koordinator aksi dan sejumlah buruh untuk menayakan perihal kejadian sebenarnya saat aksi.

Kronologi Ricuh Saat Aksi

Kordinator Aksi, Meilani, seorang perempuan yang merupakan jaringan solidaritas dalam Forum Perjuangan Buruh (FPB) mengatakan, aksi tersebut sebenarnya untuk mendeklarasikan sebuah aliansi pergerakan buruh di daerah Halmahera Tengah sembari mengampanyekan sejumlah tuntutan sesuai dengan kondisi di perusahaan PT. IWIP.

Sebelumnya, sekitar pukul 05.30 WIT pagi, ribuan masa aksi buruh itu sudah mulai bergerak ke titik aksi hingga menerobos gerbang perusahan dan menuju ke gerbang utama Tanjung Ule, tepat di Weda Utara, Halmahera Tengah, di dalam lingkungan PT. IWIP. Di sini, buruh menyampaikan aspirasi yang salah satunya meminta agar perusahan menerapkan jam kerja dari 12 jam kerja menjadi 8 jam kerja dan meminta HRD perusahaan, Rosalina Sangadji hadir dan melakukan hearing terbuka dengan buruh. Namun, tak diindahkan.

Tak berlangsung lama, FPB menduga, pihak sekuriti yang melakukan provokasi dengan melemparkan massa aksi batu hingga massa aksi buruh terprovokasi sehingga terjadi aksi baku lempar. Polisi juga sempat melepaskan beberapa tembakan peringatan ke udara.

“Massa aksi balik ke depan Main Gate Tanjung Ulie dan membakar bekas warung makan atau kantin yang berada di sana,” ujarnya saat dihubungi.

Baca juga: Cara Menghitung Pajak Pesangon

Polisi lantas melepaskan tembakan gas air mata ke arah massa aksi. Sebagian buruh lari berhamburan mengamankan diri. Sempat terjadi dialog antara buruh dengan Kapolres, namun karena tak menemui titik terang, buruh lantas beralih ke bagian produksi feronikel berencana memboikot aktivitas produksi. Di sana buruh juga sempat berunding dan menuju ke PLTU mematikan listrik.

“Sekitar pukul 10.00 WIT, PLTU pun di matikan, aktivitas produksi perusahan lumpuh total,” katanya lagi.

Usai itu, ribuan buruh balik ke titik awal aksi, di perempatan jalan perusahaan dan berunding kembali. Hasilnya, buruh yang ikut aksi bersepakat untuk tidak akan bekerja hingga semua tuntutan terpenuhi. Sekitar pukul 13.00 WIT mereka lalu membubarkan diri.

Husen, salah satu buruh yang juga beberapa waktu lalu terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat mengkritik kebijakan perusahan yang enggan memenuhi tuntutan buruh pasca aksi yang mereka gelar beberapa pekan lalu, saat dihubungi Solidaritas.net, mengatakan, aksi itu sebagai peringati Hari Buruh Internasional dan melakukan deklarasi wadah belajar buruh.

Dia juga ikut bergabung ke dalam barisan aksi karena melihat dan merasakan langsung kondisi kerja yang buruh di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, wajar buruh demo karena perusahan tidak memberi jaminan keselamatan dari bahaya virus global tersebut.

Baca juga: Cara Menghitung Pajak Pesangon

“Kondisi kerja di pabrik saat ini cukup menyedihkan. Kawan-kawan saya, yang sakit tidak bisa cuti. Kalau paksa sampai izin cuti, maka dirumahkan tanpa diupah, dan saya kesal dengan memo-memo yang tidak manusiawi. 12 Jam kerja, istirahatnya hanya 25 menit, banyak tekanan juga, bahkan hak-hak banyak yang tidak terpenuhi. Apalagi di tengah pandemi seperti ini,” kata Husen sembari mengungkap kejadian itu yang dia alami dan dia kritik sebelum dikenai PHK perusahaan.

Menurutnya, sesuai protokol dan imbauan dari pemerintah untuk tetap di rumah dan jaga jarak,  perusahaan harusnya untuk sementara waktu stop berproduksi dulu.

“Alasan lindungi karyawan, tapi kenapa kumpulkan karyawan di lingkungan yang banyak orang. Artinya bertentangan dengan imbauan pemerintah,” tambahnya.

Kata dia, satu-satunya perusahan yang tidak meliburkan pekerja hanya di PT. IWIP, selain dari itu, misalnya PT. Tekindo, meliburkan pekerjanya.

Deklarasi FPB di May Day

Seperti dikatakan sebelumnya, FPB adalah sebuah aliansi pergerakan sektoral yang fokus pengorganisirannya buruh di Halmahera Tengah. Pada 1 Mei 2020, bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, mereka mendeklarasikan berdirinya organisasi buruh progresif tanpa intervensi elit politik apapun.

“FPB Halteng hadir di tengah-tengah kawan-kawan buruh sebagai langkah serius bergerak berbareng mengawal berbagai problem perburuhan di Halteng. Maka sekaranglah saatnya kaum buruh tidak lagi harus menitipkan nasib kepada Serikat Pekerja yang hanya berorientasi untuk meraup keuntungan dari buruh sendiri,” tulis rilis yang diterima Solidaritas.net.

Wadah belajar kaum buruh ini juga mengajak seluruh buruh di Halteng, untuk berserikat, bersatu dan melawan penindasan dan ekspolisasi yang dialami buruh.

“Sebab sejatinya, sejarah perlawanan buruh telah jelas menegaskan, bahwa dengan persatuan dan perlawanan kaum buruhlah, suatu kebijakan yang menindas dapat diubah.”

Dalam deklarasi itu, FPB Halteng, menegaskan tuntutan bersamaan dengan May Day, di antaranya; menegaskan menolak Omnibus Law, menolak PHK berkedok jeda di PT. IWIP, penuhi hak maternitas buruh perempuan, kembalikan izin resmi untuk buruh PT. IWIP, meminta PT. IWIP lakukan lockdown selama pandemi, dan upah pokok 100% bagi buruh, harus dibayarkan.

Juga meminta agar karantina buruh di bandara perusahan dihentikan, memberlakukan 8 jam kerja, penuhi K3 pekerja, tak ada lagi diskriminasi buruh Tenaga Kerja Asing (TKA) dan penuhi kesejahteraan TKA di perusahaan.

FPB Halteng juga mendesak agar perusahan stop mengeluarkan memo sepihak tanpa perundingan sebelumnya dengan buruh, mereka juga meminta agar HRD, Rosalina Sangadji dicopot dari jabatannya. Dan yang terakhir, meminta Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT. IWIP yang kerap memangkas iuran dari buruh per bulan Rp. 30.000. untuk dikembalikan.

Sumber lain Solidaritas.net, yang juga bekerja di PT. IWIP yang tidak ingin namanya disebut, mengungkapkan bahwa, SPSI memang hanya mau mengambil uang buruh, sedangkan masalah-masalah buruh dibiarkan. “Bayangkan, tiap bulan 30 ribu, kalau  misal dikalikan dengan taruhlah dua ribu buruh saja, coba, berapa?” katanya kesal.

Ia lantas tidak lagi percaya kepada serikat yang, menurutnya, sudah jadi kaki tangan perusahaan tambang tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *