Di Tengah Wabah Korona, Buruh Tetap Aksi Dengan Jaga Jarak

2

Bekasi – Puluhan buruh melakukan aksi di depan empat perusahaan terkait dengan permasalahan perselisihan hubungan industrial yang mereka alami dan tuntutan menolak Omnibus Law (RUU Cipta Kerja).

Aksi tersebut dilakukan pada 02 April 2020 dengan melakukan jaga jarak sebagai langkah aman untuk menghindari penularan virus korona. Buruh juga mengenakan masker dan pakaian pelindung berupa jas hujan.

Dalam pernyataan sikapnya, para buruh mengaku takut dengan virus korona, tetapi mereka tetap memaksakan diri untuk aksi karena terancam kelaparan.

“Kami takut Covid-19, juga takut kelaparan karena di-PHK secara sepihak.”

Lokasi yang didatangi adalah PT. Trimitra Chitrahasta yang beralamat di Delta Silicon 2, Cikarang; PT Hitachi Construction Machinery (PT HCMI) di Jalan Raya Cibitung KM 48,8, Cibitung; PT Keihin Indonesia, Kawasan MM2100, Cikarang Barat, dan; PT Multistrada Arah Sarana di Jalan Raya Lemah Abang KM 58,3, Cikarang Timur.

Delapan buruh PT Trimitra menjadi korban pemutusan hubungan kerja sepihak (PHK) dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sedangkan buruh tidak pernah merasa melakukan yang dituduhkan. Pengusaha melaporkan buruh ke Kepolisian Polres Metro Bekasi Kabupaten dan telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Artinya, permasalahan ini belum terbukti, namun pihak pengusaha telah melayangkan tuduh buruh melakukan tindak pidana.

Buruh juga menjadi korban pengeroyokan dan perampasan seragam yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Trimitra. Permasalahan ini telah dilaporkan kepada Polda Metro Jaya dan diterima dengan nomor pelaporan TBL/64/92/X/2019/PMJ/Dit. Reskrimum terkait Pasal 170 KUHP. Namun, sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai permasalahan ini.

Disnaker Kabupaten Bekasi menerbitkan dua anjuran, yakni Anjuran Nomor 565/8194/Disnaker tertanggal 9 Desember 2019 terkait perselisihan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan Anjuran Nomor 675/8485/Disnaker tertanggal 31 Desember 2019 mengenai perselisihan PHK. Kedua Anjuran tersebut pada pokoknya menyatakan buruh agar dipekerjakan kembali sebagai karyawan tetap dan tidak dikenai PHK.

Alih-alih menjalankan Anjuran, Trimitra melayangkan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, sehingga mau tidak mau, buruh yang sudah mengalami situasi yang sulit, harus menjadi tergugat di pengadilan.

Buruh Hitachi juga mengalami permasalahan yang sama, yakni dikenai PHK sepihak setelah mengajukan permasalahan pemagangan kepada pengusaha. Para pekerja magang dikenai kerja sif dan lembur yang dinilai tidak sesuai dengan Pasal 19 Perda Kabupaten Bekasi Nomor 4/2016 tentang Ketenagakerjaan. Buruh menuntut Hitachi agar mengangkatan pekerja magang sebagai karyawan tetap.

Apalagi, Hitachi pernah menjadi salah satu penggugat dalam gugatan terhadap Perda Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi di Mahkamah Agung. Gugatan tersebut ditolak, sehingga seharusnya perusahaan lebih sadar untuk menjalankannya.

Masalah selanjutnya adalah yang diderita oleh buruh PT Keihin Indonesia yang berlokasi di Karawang. Buruh telah mengantongi Anjuran dari Disnaker Karawang Nomor 565/1170/HIPK tertanggal 20 Februari yang isinya meminta perusahaan mempekerjakan buruh sebagai karyawan tetap, namun, lagi-lagi perusahaan melayangkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung.

Buruh berusaha menagih penerapan kode etik PT Keihin Indonesia yang berada di bawah naungan Keihin Corporation dan selaku pemasok Astra Grup yang berada di bawah kepemilikan mayoritas Jardine Cycle & Carriage. Kode etik secara umum meminta pengusaha agar menghargai hak asasi manusia, anti diskriminasi dan patuh terhadap hukum di suatu negeri.

Permasalahan buruh PT Sum Hing Indonesia (SHI) juga sama dengan pekerja di tiga perusahaan lainnya. PT SHI adalah perusahaan produsen mold untuk PT Multistrada Arah Sarana Tbk, yang memproduksi ban achilles. Saham mayoritas Multistrada dimiliki oleh Michelin yang memiliki kode etik yang cukup ketat karena meminta perusahaan dan pemasoknya untuk menghormati dan mengikuti Deklarasi HAM, Global Compact dan panduan OECD, hukum ketenagakerjaan di suatu negara, aturan dasar ILO, termasuk kebebasan berserikat, anti diskriminasi dan hak berunding bagi serikat buruh.

Namun, sepertinya, semua kode etik dan tanggung jawab perusahaan masihlah dokumen di atas kertas. Hal ini membuat buruh seolah tidak ada jalan lain, selain tetap turun ke jalan dan menyuarakan tuntutannya agar didengar oleh para pemangku kepentingan.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *