(Bagian 2)
Ekonomi-Politik Kaum Pekerja Tanpa Penghisapan:
1. Nilai tambah (NT) = hasil penjualan (HP) dikurangi kapital konstan (biaya produksi non upah) (KK); atau NT = HP – KK;
2. Nilai lebih (nilai surplus) (NL) = nilai tambah (NT) dikurangi upah (U); atau NL = NT – U.
Bayangkan bila NILAI TAMBAH produksi tersebut diberikan atau menjadi hak kaum buruh semuanya; atau buruh tidak hanya menerima secuil saja dari nilai tambah tersebut (berupa upah murah); Apa jadinya?
1. Agar mudah menghitungnya, katakan upah minimum yang murah itu adalah 2,5 juta rupiah sebulan;
2. Dalam hitungan menurut kondisi rata-rata stuktur keuangan industri manufaktur ASEAN, buruh yang kerja 7 jam sehari (plus 1 jam istirahat) itu hanya dibayar senilai seolah-olah buruh hanya kerja 36 menit; atau buruh kerja 7 jam, dibayar hanya 36 menit;
3. Jadi kerja 36 menit (padahal kerja sebenarnya 7 jam) sehari dinilai hanya 2,5 juta rupiah (upah minimum yang murah) per bulan;
4. Kalau buruh dibayar benar-benar sesuai dengan lamanya kerja, atau benar-benar dibayar senilai 7 jam kerjanya maka nilainya adalah 7 X 60 menit = 420 menit : 36 menit = 11,67 kalinya, atau 11,67 X 2,5 juta rupiah = Rp.29.175.000,- per bulan;
5. Jadi hak buruh sebenarnya (sesuai dengan jam kerjanya) adalah 29.175.000,- Per bulan. Itu bila kapitalis TIDAK MERAMPAS NILAI TAMBAH yang dihasilkan buruh (atau kapitalis TIDAK MENDAPATKAN NILAI LEBIH).
6. Sekarang, katakan lah buruh upahnya tidak sebesar sebesar Rp.29.175.000,- per bulan, tapi hanya dua kali lipat upah minimum alias 2,5 juta X 2 = 5 juta rupiah (cukup, khan?), maka upah 5 juta rupiah tersebut artinya senilai 2 X 36 menit = 72 menit jam kerja; atau buruh bekerja 72 menit tapi mendapatkan upah 5 juta rupiah per bulan (sekali lagi, cukup, khan?);
7. Maka ada sisa jam kerja yang harus dipenuhi untuk memproduksi barang dagangan (komoditi) yaitu sebesar 420 menit – 72 menit = 348 menit.
8. Bayangkan sisa jam kerja 348 menit itu diberikan kepada para penganggur agar mereka bisa bekerja;
9. Maka ada lowongan kerja berikutnya sebanyak 72 menit pertama, 72 menit kedua, 72 ketiga, 72 menit keempat, dan 60 menit ke lima; atau bisa menerima tenaga kerja baru 348 : 72 = 4,83 kali lipat kali tenaga kerja yang ada sekarang, dengan upah yang sama, yaitu 5 juta per bulan—kecuali yang kerja 60 menit kerja hanya menerima 60 : 72 X 5 juta = Rp.4.166.666,-
10. Sekali lagi, dengan cara tersebut di atas, bisa dipekerjakan pengangguran sebesar 4,83 kali dari tenaga kerja yang ada sekarang; atau tenaga kerja baru yang bisa diterima bekerja akan sebesar 4,83 kali lipat dari tenaga kerja yang ada sekarang;
11. Menurut statistik, tenaga kerja formal yang ada sekarang ada 34 juta orang. Berati lowongan kerja yang tersedia atau tenaga kerja baru yang bisa diterima kerja akan sebesar 4,83 x 34 juta orang = 164.220.000 orang.
Kesimpulan:
1. Tidak benar bahwa pengangguran yang ada sekarang (sebesar 12 juta, menurut SBY; atau sekitar 32 juta menurut angka sebenarnya, temasuk setengah pengangguran), adalah karena: kurangnya industri menyerap tenaga kerja; kurangnya investasi; kurangnya jiwa kewirausahaan rakyat Indonesia bla bla bla, bla bla bla;
2. Terbukti, dari hitungan di atas, bahwa tidak benar bahwa kenaikan upah akan menyebabkan pengangguran, usaha atau pabrik bangkrut, pabrik pindah ke tempat lain bla bla bla, bla bla bla;
3. Terbukti, dari hitungan di atas, tidak benar bahwa kenaikan upah akan menyebabkan pabrik bangkrut, karena dana untuk menaikkan upah tidak diambil dari biaya produksi (non upah) atau tidak diambil dari kapital konstan (constant capital) sehingga tidak akan mengganggu proses produksi berikutnya.
Syarat:
1. Bila kaum buruh perjuangannya hendak mencapai keadaan seperti di atas, maka syaratnya: program perjuangan ke depan (dan itu tidak mudah) harus mencapai tahap bahwa usaha ekonomi industri menjadi milik sosial bersama buruh, agar NILAI TAMBAH nya tidak diambil kapitalis [atau menjadi nilai lebih (surplus value) yang menjadi “milik kapitalis”];
2. Di Venezuela, setahap demi setahap pemilikan pabrik atau usaha ekonomi industri dialihkan kepada kaum pekerja (menjadi milik sosial)—dengan berbagai cara: perusahaan vital diserahkan menjadi kepemilikan sosial/kaum pekerja (bukan dimiliki swasta); pabrik dibeli oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada kaum pekerja; sebagian saham pabrik dibeli oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada kaum pekerja; dalam jangka waktu tertentu, pabrik dialihkan kepada kaum pekerja; pabrik-pabrik yang ditinggalkan kapitalis atau bangkrut, dihidupkan kembali dengan bantuan pemerintah kemudian diserahkan kepada kaum pekerja; walaupun kaum buruh tetap harus membayar pajak kepada negara sebagai bayaran kepemilikan sosialnya.Dan pajak tersebut secara transparan dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan seperti untuk pendidikan gratis, kesehatan gratis, jaminan pensiun, subsidi-subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok rakyat, dan jaminan-jaminan sosial lainnya;
3. Kaum buruh harus berpolitik karena, untuk mencapai keadaan kesejahteraan tersebut, kaum buruh harus memegang kekuasaan—bila berkendak pengalihan kepemilikan dari kapitalis kepada kepemilikan sosial menjadi mudah;
4. Keterampilan (skill) teknis dan manajemen kaum buruh harus ditingkatkan;
Sumbangan kaum pekerja pada masyarakat:
1. Katakan dari upah 5 juta rupiah diambil 1 juta rupiah (20%) sebagai pajak (sosial) untuk kesejahteraan mereka yang belum bisa bekerja, tidak bisa lagi bekerja (pensiun), tidak bisa bekerja (cacat), untuk infra-struktur, untuk pendidikan dan kesehatan gratis, untuk jaminan sosial lainnya, dll, maka nilainya akan sebesar 34 juta pekerja + 164.220.000 pekerja X 1juta rupiah = 198,220 trilyun rupiah per bulan (itu belum lagi dari pendapatan-pendapatan negara lainnya, seperti dari BUMN). Jadi, sumbangan kaum pekerja setahunnya adalah 198,220 trilyun X 12 = 2.378,64 trilyun rupiah—APBN kita saja tak lebih dari 1.800 trilyun. Atau bisa juga sebagian dari sumbangan kaum pekerja pada masyarakat dialokasikan untuk ekspansi perusahaan atau untuk modernisasi alat-alat/sarana-sarana produksi atau untuk penelitian dan pengembangan teknologi serta skill kaum pekerja agar tenaga produktif kita semakin maju.
Cara yang lebih lunak (cara sosial-demokrat):
1. Katakan nilai tambah tidak diserahkan semua kepada kaum buruh, atau ada juga yang diserahkan kepada kapitalis; ya, katakan buruh hanya menerima upah 4 juta rupiah per bulan (bukan 5 juta rupiah), dan sisanya, yang 1 juta rupiah diberikan pada kapitalis, dan pajak sosial ditanggung kapitalis (berupa pajak pendapatan). Silakan hiung sendiri. Yang jelas kapitalis masih untung banyak karena kapitalis itu cuma segelintir jumlahnya, sedangkan buruh seabrek-abrek.
DAN ISTILAH KAUM BURUH (UPAHAN) AKAN BERUBAH MENJADI KAUM PEKERJA—namu n bukan istilah “pekerja” dalam pengertian Orde Baru.
(Tamat)
Ekonomi-Politik Penghisapan Terhadap Buruh dan Ekonomi-Politik Tanpa Penghisapan Terhadap Buruh (Bagian 1)