Eksploitasi Tenaga Kerja di Perkebunan Sawit Wilmar International Ltd.

Sumatera Utara – Organisasi non pemerintah, Amnesty International melaporkan telah terjadi eksploitasi terhadap pekerja perkebunan sawit Indonesia, yaitu di PT Daya Labuhan Indah dan PT Perkebunan Milano yang dikelola Wilmar International Ltd.

Wilmar International Ltd (sumber : kinibiz)

Hasil wawancara 120 pekerja menyatakan, sebagian besar buruh yang terdiri dari perempuan ini harus menjalani kerja lembur tanpa peralatan kerja yang memadai. Upah yang diberikan kurang dari standar internasional yaitu 2,5 USD atau sekitar Rp33.000 per hari.

Selain itu, Amnesty juga menemukan anak-anak berumur delapan tahun bekerja dalam kondisi-kondisi berbahaya.

Amnesty mengatakan, Wilmar dipilih sebagai fokus penyelidikan karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan pemroses dan penyedia minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Wilmar memasok minyak sawit untuk perusahaan konsumen global, seperti Unilever, Colgate-Palmolive, Nestle, Reckitt Benckiser, Kellogg, dan Procter & Gamble.

Hasil dari pasokan minyaknya, perusahaan besar itu meraup keuntungan gabungan senilai 260 miliar poundsterling (sekitar 324 miliar dollar AS) pada tahun 2015. Namun, menurut Amnesty hal itu tidak berguna karena Wilmar tidak dapat melakukan apa-apa atas kekejaman dan rendahnya upah pekerja perkebunan sawit.

“Tukang produk minyak kelapa sawitnya yang salah. Namun, yang harus digaris bawahi adalah minyak tersebut dihasilkan dari eksploitasi terhadap pekerja,” kata penyidik senior Amnesty International, Meghna Abraham dikutip dari Koran-Jakarta.com.

Menanggapi temuan Amnesty International, Wilmar mengatakan mereka menyambut baik laporan Amnesty yang membantu menyoroti isu-isu dalam industri minyak kelapa sawit secara lebih luas, namun perusahaan itu menambahkan bahwa solusi memerlukan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan dan organisasi masyarakat madani.

Senada dengan pihak Wilmar, eksekutif di Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, Sumarjono Saragih mengatakan tidak ada perusahaan yang “secara sadar” mempekerjakan buruh di bawah umur karena itu melanggar aturan.

“Namun beberapa pekerja perkebunan membawa anak-anaknya untuk membantu,” ujarnya dikutip dari VoaIndonesia.com.

Pada 7 April 2016 lalu, dalam acara peluncuran Business and Human Rights Working Group (B&HRWG) di Jakarta, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat ( ELSAM) memaparkan kajian awal terhadap kebijakan HAM terhadap 6 perusahaan besar di sektor pertambangan minyak, pertambangan mineral dan batu bara serta perkebunan kelapa sawit.

Salah satu perusahaan yang dimaksud adalah Wilmar International Ltd, sementara lima lainnya yaitu British Petroleum Indonesia, PT. Chevron Pacific Indonesia, PT. Freeport Indonesia, PT. Cargill Indonesia, serta PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk.

Berdasarkan hasil kajian awal ELSAM tersebut, dinyatakan bahwa keenam korporasi tersebut belum secara mudah diakses oleh publik. Namun, di antara korporasi tersebut ada beberapa hal yang belum merujuk kepada instrumen HAM dalam pernyataan kebijakann ataupun kode etik perusahaan.

Demikian pula dengan mekanisme untuk memberikan pemulihan bagi korban akibat operasi perusahaan, belum dicantumkan dalam pernyataan kebijakannya, sehingga akan menyulitkan korban untuk mendapatkan pemulihan.

Padahal, sesuai dengan Guiding Principles for Business and Human Rights (UNGPs), perusahaan diwajibkan menghormati hak asasi manusia. Ketentuan ini juga mencakup korporasi harus mematuhi hak-hak dasar yang ditetapkan dalam Deklarasi Organisasi Buruh Internasional tentang Hak-Hak Dasar dan Hak di Tempat Kerja. Yang berarti mencakup kebebasan berserikat dan berunding, penghapusan segala bentuk kerja paksa dan kerja wajib, penghapusan buruh anak dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja.

Pendiri Wilmar adalah Martua Sitorus asal Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia adalah sarjana ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara. Pria yang memiliki nama asli Thio Seng Hap itu bekerjasama dengan Kuok Khoon Hong seorang pengusaha gula dan properti Malaysia. Wilmar sendiri disebut-sebut sebenarnya adalah singkatan dari kedua nama mereka, yaitu William, nama panggilan Kuok Khoon Hong, dan Martua Sitorus.

Wilmar berbasis di Singapura, namun sebagaian besar aktivitas produksinya di Indonesia. Ada 48 perusahaan yang dikelola Wilmar di Indonesia, dua diantaranya adalah PT Daya Labuhan Indah dan PT Perkebunan Milano, dua perusahaan yang pekerjanya mengalami eksploitasi.

Usahanya bermula pada tahun 1991 dengan awal kepemilikan kebun seluas 7.100 hektar. Di tahun yang sama Martua membangun pabrik pengolahan minyak sawit pertamanya. Bisnis sawit terus berkembang hingga memproduksi minyak goreng bermerek Sania pada 2000.

Per 31 Desember 2005, Wilmar memiliki total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 69.217 hektar, 65 pabrik, tujuh kapal tanker, dan 20.123 karyawan. Wilmar mengekspor produk-produknya ke lebih dari 30 negara. Total aset Wilmar saat itu adalah US$ 1,6 miliar, total pendapatan US$ 4,7 miliar, dan laba bersih US$58 juta.

Pada Agustus 2006, kapitalisasi Wilmar di bursa efek Singapura mencapai US$2 miliar. Majalah Forbes menempatkan Martua di urutan ke-14 dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2006 dan terdaftar sebagai orang terkaya ketujuh di Indonesia pada tahun 2011. Kekayaan bersihnya ditaksir mencapai US$475 juta. “Palm Oil King”, begitu Forbes menyebut sosok Martua.

Selama sembilan bulan pertama 2006, pendapatan Wilmar Corp naik 7,8% menjadi US$ 3,7 miliar dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$ 3,4 miliar. Adapun laba bersihnya selama sembilan bulan pertama 2006 tumbuh 56,4% mencapai US$ 68,3 juta dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$ 43,6 juta.

Tinggalkan Balasan