Solidaritas.net, Jakarta- Pada 17 September 2015, wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fahri Hamzah menyurati Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Ia meminta agar MKD tidak membuka kepada publik perihal dugaan kasus pelanggaran kode etik Setya Novanto dan Fadli Zon yang menghadiri kampanye Donald Trump.
“Dalam kaitan dengan penanganan Perkara perlu diingatkan agar proses penanganan Perkara dilaksanakan sesuai dengan tata cara pemeriksaan pelanggaran Kode Etik yang mengharuskan MKD dan Sistem pendukungnya untuk menjaga kerahasiaan proses pemeriksaan dan tidak diperkenankan dipublikasikan sampai Perkara tersebut diputus,” tulis Fahri dalam salinan suratnya, dilansir dari Kompas.com
Menurut Fahri, aturan agar tak membuka perkara ke publik ini sudah diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD.
“Sehubungan dengan kerahasiaan proses penanganan Perkara, pimpinan meminta perhatian MKD untuk tidak membuka perkara tersebut, baik secara individu maupun secara kelembagaan MKD kepada media massa dalam bentuk dan cara apapun,” tulis Fahri.
Sayangnya, surat tersebut justru mendapat tanggapan sinis, anggota MKD DPR, Syarifudin Sudding. Ia menilai Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, sudah melakukan intervensi terhadap pengusutan kasus tersebut. Politisi Hanura ini menegaskan, MKD tidak akan terpengaruh dengan adanya upaya intervensi yang dilakukan. MKD akan melakukan investigasi secara transparan dan prosesnya akan terbuka untuk publik.
“Tidak ada kewenangan pimpinan Dewan melakukan meminta ini-itu kepada MKD. Pimpinan Dewan bukan atasan MKD. MKD tidak akan tunduk (kepada pimpinan), kan sudah ada tata tertib. Tetap berjalan seperti biasa. Itu hanya alat kelengkapan Dewan yang sama di DPR. Jadi enggak ada kewenangan mengatur” ungkapnya sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Rabu(23/9/2015)