Solidaritas.net – Model hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), mulai digunakan kembali di Indonesia pada tahun 1997. Hubungan kerja demikian diatur melalui lahirnya UU no. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Bahkan kemudian lahir model hubungan kerja outsourcing, yang dibawa oleh UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berselang 1 tahun, lahir UU no. 2 tahun 20014 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sebuah aturan hukum yang membatasi, bahkan menghilangkan, peran negara dalam sengketa perburuhan. Dapat diilustrasikan sebagai wadah pertarungan antara buruh dan pengusaha tanpa campur tangan negara.
Kemunculan aturan-aturan tersebut di atas, tidak lain adalah akibat dari tuntutan akan pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility), yang terus dipromosikan oleh Bank Dunia. Suatu strategi yang dianggap paling sesuai bagi kepentingan modal dalam menghadap kondisi perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal.
Hutang yang dimiliki oleh Indonesia menjadi faktor kunci bagi Bank Dunia untuk mendesak Indonesia menerima konsep tersebut. Dilansir dari Wikipedia.org, pasar tenaga kerja fleksibel diartikan sebagai kemampuan pasar tenaga kerja untuk beradaptasi dengan fluktuasi dan perubahan ekonomi atau produksi.
Uraian yang terkenal mengenai sifat khusus fleksibilitas tenaga kerja, dipaparkan oleh Atkinson dalam bukunya yang berjudul “Flexibility, Uncertainly, and Manpower Management” dan “Changing Work Pattern: How Companies Achieve Flexibility to Meet New Needs”.
Ia menguraikan ada empat jenis sifat khusus fleksibilitas yang diterapkan perusahaan:
1. Fleksibilitas Numerik Eksternal
Penyesuaian jumlah tenaga kerja yang digunakan dengan ketersediaan tenaga kerja. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan buruh pada pekerjaan sementara atau jangka waktu tertentu dan aturan pemecatan yang longgar. Dimana pengusaha dapat melakukan perekrutan ataupun pemecatan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
2. Fleksibilitas Numerik Internal
Dikenal juga sebagai fleksibilitas waktu kerja yang dapat dicapai dengan menyesuaikan jam kerja buruh dalam perusahaan. Misalnya penyesuaian jam kerja fleksibel (termasuk penerapan shift), jumlah jam kerja fleksibel (tidak dibatasi 40 jam seminggu), penyesuaian cuti melahirkan dan waktu lembur fleksibel (tidak dibatasi).
3. Fleksibilitas Fungsional
Fleksibilitas fungsional berarti buruh harus dapat ditempatkan di bagian yang berbeda dengan pekerjaan yang berbeda sesuai kebutuhan perusahaan. Namun hal ini tentu berkaitan erat dengan sistem manajemen perusahaan dan pelatihan kerja, sehingga sistem outsourcing menjadi salah satu solusinya.
4. Fleksibilitas Upah
Upah buruh tidak ditentukan secara kolektif, melainkan individu dengan upah beragam sesuai kinerja individu. Sehingga biaya upah dan biaya lain untuk buruh dapat mencerminkan pasokan dan permintaan tenaga kerja.
Penerapan fleksibilitas tenaga kerja ini membawa banyak permasalahan bagi kaum buruh di Indonesia hari ini. Persoalan tidak adanya kepastian kerja dan upah murah berdampak pada angka kemiskinan yang terus meningkat. Syarat (kondisi) kerja yang fleksibel juga berdampak pada maraknya kecelakaan kerja terjadi di pabrik-pabrik.
Fleksibilitas upah juga merupakan salah satu faktor yang membuat buruh enggan untuk berserikat. Penentuan upah berdasarkan kinerja individu mendorong buruh semakin individualistis, meski pada kenyataannya, produk suatu perusahaan merupakan hasil kerja bersama, bukan kerja individu semata.
Kondisi ini adalah realita yang dihadapi gerakan buruh saat ini, bukan sekedar kecelakaan kerja yang diakibatkan kelalaian, bukan sekedar upah murah yang diakibatkan kelalaian pemimpin daerah (atau negara), melainkan strategi kapitalisme dalam mempertahankan dan memperbesar modal.