FPR Sulsel Desak PTPN XIV Hentikan Kekerasan dan Perusakan Tanaman Petani

Solidaritas.net, Makassar – Ratusan orang dari berbagai organisasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulsel melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor PTPN XIV, Makassar, Sulsel, Senin (1/6/2015). Peserta aksi unjuk rasa tersebut mendesak manajemen PTPN XIV untuk segera menghentikan pengolahan paksa lahan dan perusakan tanaman pertanian milik para petani Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar.

demo fpr
Demo FPR di Makassar. Foto: Agra.

Selain itu, dalam tuntutannya, massa juga meminta agar pihak perusahaan menarik pasukan Brimob dari lokasi lahan, karena sering mengintimidasi dan mengawal pengolahan lahan secara paksa. Padahal, lahan-lahan pertanian itu saat ini sedang ditanami tanaman pangan milik para petani. Kemudian, mereka juga menuntut dihentikannya segala teror, intimidasi dan kriminalisasi terhadap para petani dan mengedepankan upaya penyelesaian konflik.

“Kami meminta menghentikan segala teror, intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta menghentikan upaya paksa untuk mengolah tanah petani. Kami juga meminta penarikan Brimob dari lokasi agar tidak semakin memicu konflik yang ada. Kami siap menyelesaikan konflik ini dengan cara yang demokratis dengan tetap menghormati dan mengedepankan keadilan bagi rakyat,” ujar Chivas, juru bicara Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulses dalam aksi unjuk rasa tersebut, seperti dikutip dari situs AGRA, Selasa (2/6/2015).

Disampaikan Chivas, meningkatnya pemaksaaan pengelolaan lahan petani, tindakan teror, intimidasi dan kriminalisasi oleh PTPN XIV ini, diduga karena adanya suntikan dana dari PTPN X berupa investasi. Menurut informasi, PTPN X telah mengucurkan dana sekitar Rp 140 miliar untuk kebutuhan rancung (masa tanam tebu) seluas 400 hektar. Sehingga, tak heran jika PTPN XIV semakin brutal untuk memaksa petani agar meninggalkan lahan pertaniannya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal AGRA Rahmat Ajiguna menyampaikan kekecewaannya terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden sempat membawa harapan bagi warga yang berkonflik. Pasalnya, sejak kampanye hingga awal berkuasa, Jokowi-JK selalu menjanjikan penyelesaian konflik agraria. Namun kenyataannya, hingga saat ini tak satupun konflik yang masuk dalam agenda pemerintahan.

“Jika Jokowi konsisten menyelesaikan konflik agraria yang ada dan serius akan menjalankan program Land Reform, seharusnya Jokowi segera membahas konflik yang ada. Sebab sangat dimungkinkan dalam penyelesaian konflik agraria yang ada diselaraskan dengan program Land Reform-nya, yakni menjadikan lahan konflik jadi objek dari Land Reform,” katanya.

Namun, saat ini kaum petani dan rakyat harus menyadari kenyataan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tampaknya sangat sulit untuk diharapkan dapat menjalankan janji politiknya itu. Disebut Rahmat, hal ini bisa menjadi pelajaran penting bagi kaum petani, bahwa tetap saja mereka harus bisa memperjuangkan hak dan kepentingannya melalui kekuatannya sendiri.

“Organisasi petani yang sejati harus dibangun dan terus diperluas. Sebab hanya melalui organisasi itu, kaum petani bisa belajar tentang dirinya dan perjuangannya. Melalui organisai, kaum petani juga memiliki persatuan, dan melalui organisasi petani, kaum petani bisa setahap demi setahap memperjuangkan hak-haknya,” pungkas Rahmat menambahkan.

Tinggalkan Balasan