FSEDAR Nilai Surat Edaran Menaker Pencegahan Covid-19 Masih Abaikan Nasib Buruh

Pekerja memproduksi pakaian pelindung di sebuah pabrik di Nantong, Provinsi Jiangsu, China, Senin (27/1/2020). Pakaian pelindung tersebut diproduksi untuk mendukung pasokan bahan medis saat wabah virus corona melanda China. (STR/AFP) credit: liputan6

Bekasi – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Surat Edaran ini ditujukan kepada seluruh Gubernur untuk melaksanakan perlindungan upah dan mengupayakan pencegahan, penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja.

Ada beberapa hal yang dianjurkan dalam edaran itu, pertama,bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.

Baca:Hak Mogok Kerja dan Sanksi Bagi Pengusaha yang Menghalanginya

Kedua, bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi. Ketiga, “Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan, ” kata Ida, mengutip keterangan Surat Edaran yang ditandatangani tanggal 17 Maret 2020.

Sedangkan, yang keempat, bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19 sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Pemerintah Lepas Tangan Soal Buruh

Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), Sarinah menilai kebijakan pemerintah dalam perlindungan dan pencegahan penyebaran pandemi Coronavirus disease (Covid-19) itu cenderung mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja kaum pekerja/buruh dan disebut tidak berpihak kepada kaum buruh.

Dalam edaran itu juga dikatakan Sarinah, pemerintah cenderung tidak mempedulikan dan membiarkan buruh berjuang sendiri jika terjadi pembatasan atau penghentian aktivitas perempuan. Dia sebut, bila diserahkan kepada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh, artinya sudah masuk ke tingkat perundingan bipartit di mana buruh harus berjuang sendiri.

Baca: Kasus Cek Kosong, Buruh Merasa Dibohongi Pengusaha AICE

“Sementara kita tahu, secara sosiologis buruh itu memiliki posisi yang lebih lemah dari pada pengusaha di perusahaan karena buruh adalah pihak yang tidak memiliki modal dan hanya memiliki tenaga sehingga daya tawarnya lebih lemah,” terang Sarinah, Solidaritas.net, Sabtu (21/3/2020).

Bagi dia, pemerintah Indonesia tidak seperti di negara-negara lain saat menyikapi penyebaran Covid-19, meningkatkan kesejahteraan buruh dan perlindungan.

Di Norwegia misalnya, memiliki kebijakan membayar upah buruh 100 persen selama 20 hari masa lockdown. Pun di Austria membayar upah 80-90 persen, menanggung gaji pekerja, dan 75 persen apabila perusahan itu tidak memangkas karyawan, begitu juga di Belanda sebanyak 90 persen.

“negara Skandinavia dan Eropa yang jadi contoh terlalu jauh, Malaysia setidaknya ada usaha. Mewajibkan pengusaha tetap bayar upah penuh tanpa potong cuti selama lockdown. Sejumlah sektor usaha penting dikecualikan dari lockdown tapi 50 persen diliburkan.”

Menurut Sherin sapaan akrabnya, negara-negara itu bisa menjadi rujukan pemerintah bagaimana seharusnya memberikan proteksi kepada pekerja/buruh pada masa pandemi, tidak melepas tangan dan masih menyatakan bahwa ini adalah bentuk perlindungan.

“Karena, nggak ada yang namanya bentuk perlindungan ketika mekanisme itu diserahkan ke perundingan bipartit berdasarkan daya tawar antara buruh dan pengusaha, karena ini jelas ketika kita bicara soal daya tawar buruh dan pengusaha, buruh tentu daya tawarnya lemah dari pengusaha, karena bukan pemilik pabrik,” tambahnya.

Jika pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan sebagaimana negeri yang sudah maju, seharusnya sejak awal menyiapkan diri dengan bersikap pro aktif untuk mencegah penularan virus Covid-19.

“Rakyat menyaksikan pemerintah lebih banyak membuat guyonan yang tidak lucu, blunder dan malah mengekspor masker ke luar negeri. Pasokan peralatan medis saja tidak mampu diamankan sejak awal.”

Surat Edaran Tidak Berpihak Pada Buruh

“Surat Edaran Kementrian Ketenagakerjaan ini adalah surat edaran yang sebenarnya tidak melindungi buruh apabila terjadi lockdown. Sementara kita tahu bahwa saat ini, salah satu bentuk dari pencegahan Covid-19 itu adalah dilakukannya lockdown.” ujar Sarinah.

Imbauan pemerintahan Presiden Jokowi soal perlu dilakukannya social distancing (pembatasan sosial) atau jaga jarak, dan harus sedapat mungkin tinggal dirumah, pun kata Sarinah tidak berpihak kepada buruh yang selama ini terus bekerja.

“Buruh tidak bisa kalau hanya diberikan anjuran anjuran macam ini tanpa adanya penegasan dan buruh-buruh juga harus memiliki hak untuk terlindungi dari adanya pandemi korona ini,” terangnya.

“Selama ini kan buruh tetap disuruh masuk ke pabrik dan tetap disuruh bekerja, artinya proteksi terhadap pekerja itu lemah. Social distancing dan lockdown itu privilege bagi sebagian orang, mayoritas masih tetap harus bekerja dan terkena risiko.”

Penyebaran dan penularan virus corona memang sangat mudah, dan buruh sangat rentan terinveksi dengan menggunakan transportasi-transportasi publik, KRL/Kereta Api, Busway Jakarta, dan lainnya.

“Ya, karena memang buruh nggak punya alternatif lain, selain masuk kerja dan bekerja itu menggunakan transportasi publik yang sangat padat, sehingga tidak mungkin bisa melakukan sosial distance atau jaga jarak dengan orang lain dan potensi penularannya sangat besar,” imbuhnya.

Eijkman Institute memperkirakan pada bulan April 2020 mendatang, kemungkinan akan ada 11.000.000-71.000.000 kasus. Menteri Kesehatan juga menyatakan mungkin akan ada 700  ribu orang Indonesia yang terpapar atau beresiko kena Covid-19. Tingkat kematian karena Covid-19 mencapai 8-9 persen.

Tinggalkan Balasan