FSEDAR: Sistem Pengupahan Harus Diubah

Massa Komite Satu Mei (Foto: Solidaritas.net)

Jakarta –
Memperingati May Day, Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR) bergabung dengan Komite Satu Mei yang terdiri dari PPRI,
PMKRI, LBH Jakarta, GKA, Semar UI, Safenet, KPRI Jakarta dan ICT Watch
menggelar aksi di depan istana Negara, Minggu (01/05/2016). Komite Satu Mei menuntut Demokrasi
Seluas-Luasnya Demi Pembagian Kekayaan Nasional untuk Kaum Buruh dan Rakyat!

Tuntutan ini bermakna menuntut
perubahan sistem pembagian kekayaan nasional, agar lebih berkeadilan dengan
cita-cita kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia karena  hasil kerja kaum buruh sendiri telah menyumbangkan
keuntungan 30 persen hingga 40 persen  untuk
kaum modal (pengusaha).
Namun karena sistem pengupahan didasarkan
pada kebutuhan hidup minimum, bukan berdasarkan pada nilai kerja yang dihasilkan
sesungguhnya oleh kaum buruh, maka kaum buruh Indonesia hanya memperoleh upah antara tiga sampai lima persen dari hasil penjualan.
Komite Satu Mei menjelaskan, solusi
dari kondisi tersebut adalah, skema peningkatan upah kaum buruh harus ditempuh dengan
dua jalan. Pertama, dalam jangka pendek, yang tetap mempertahankan konsep upah
yang digunakan saat ini, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu meningkatkan presentase
kenaikan upah dan membongkar kecurangan pemerintah dalam menggunakan angka
inflasi.
Peningkatan presentase kenaikan upah
ditempuh sebagaimana biasa dituntut oleh kaum buruh setiap tahunnya. Namun
tuntutan yang diajukan haruslah dapat meningkatkan pendapatan kaum buruh
sesungguhnya, bukan sekedar menyesuaikan upah dengan inflasi (kenaikan harga
kebutuhan).
Membongkar kecurangan pemerintah
dalam penggunaan angka inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk
menentukan kenaikan upah. Angka inflasi yang dikeluarkan oleh BPS adalah presentase
kenaikan harga ratusan jenis komoditas yang ada di pasar.
Namun, dalam sistem pengupahan yang
digunakan saat ini, kaum buruh ditentukan untuk mengkonsumsi 64 jenis barang
komoditas saja, yang disebut sebagai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Seharusnya angka inflasi yang
digunakan hanyalah presentase kenaikan harga 64 jenis barang komoditas
tersebut. Sedangkan saat ini BPS menggunakan data harga konsumen di 82 kota
yang mencakup 225 hingga 462 jenis barang dan jasa. Akibatnya tentu saja nilai
inflasi yang dihasilkan akan menjadi kecil karena pembagi nya ada pada angka
225 hingga 462, bukan 64 sebagaimana ketentuan dalam KHL.
Jalan kedua, dalam jangka panjang,
regulasi yang mengatur sistem pengupahan di negeri ini harus diubah. Upah
layak bukanlah upah berdasarkan kebutuhan hidup minimum seorang lajang yang
telah digunakan sejak masa kolonialisme. Perubahan regulasi sistem pengupahan
yang diperlukan adalah adanya transparansi keuntungan perusahaan, kenaikan upah
buruh berdasarkan kebutuhan dasar ditambah prosentase keuntungan perusahaan dan
legalitas bagi serikat buruh untuk mengetahui pembukuan perusahaan.
Oleh karena itu pada hari buruh
internasional 2016, Komite Satu Mei menuntut “Demokrasi Seluas-Luasnya Demi
Pembagian Kekayaan Nasional Untuk Kaum Buruh Dan Rakyat,”.

Tinggalkan Balasan