Bekasi – Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR) mengadukan permasalahan pemagangan di PT Hitachi Construction Machinery Indonesia (PT HCMI) kepada Hitachi Construction Machinery (HCM) dan Hitachi Global yang berkantor pusat di Jepang.
“Surat telah dikirimkan pada minggu kemarin (30 Agustus 2020) melalui pos,” kata Ketua FSEDAR, Saiful Anam kepada Solidaritas.net, 2 September 2020.
Saiful Anam, mengatakan pihaknya berharap ada penyelesaian mengikuti tiga Anjuran Disnaker agar buruh magang diangkat menjadi karyawan tetap. FSEDAR juga mengirimkan tembusan surat kepada lembaga jaringan yang fokus pada masalah perburuhan di Jepang.
“Mengingat kode etik HItachi mengacu pada hak asasi manusia, maka berdasarkan prinsip HAM, seharusnya perusahaan bersedia mengikuti kondisi kerja terbaik bagi buruhnya, yakni mengikuti anjuran Disnaker yang isinya agar buruh diangkat menjadi karyawan tetap,” jelasnya.
Buruh juga telah berkali-kali melakukan aksi, termasuk aksi pada tanggal 2 April 2020 dan aksi tanggal 19 Juli di depan PT. Hexindo Adiperkasa, Tbk. di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta.
Dalam demonstrasi 19 Juli 2020 di Jalan Pulo Kambing, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur, mengekspos permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi di PT Hitachi Construction Machinery Indonesia. Permasalahan ini berawal dari para pemagang yang dipekerjakan melebihi ketentuan UU yang berlaku.
“Pekerja magang pada jam kerja lembur dan jam kerja shift, yang tidak sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) huruf c, d, dan e Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan,” kata Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) dalam pernyataan sikapnya.
Dasar aduan
Aduan F-SEDAR didasarkan pada kode etik HCM:
- Kami akan mempromosikan pemahaman kami tentang hak asasi manusia, dan akan menghormati dan tidak melanggar hak asasi manusia semua orang yang terlibat dalam aktivitas bisnis kami.
- Kami akan melaksanakan uji kelayakan yang sesuai dengan keadaan sosial negara dan wilayah tempat kami beroperasi dan sifat bisnis, produk dan layanan kami di sana.
- Kami akan menilai dan mencegah potensi pelanggaran HAM. Jika terjadi pelanggaran seperti itu, kami akan segera mengambil tindakan internal dan eksternal untuk memperbaiki situasi.
- Kami akan menghormati hak asasi manusia secara individu dalam perekrutan dan perlakuan karyawan, serta dalam semua aktivitas perusahaan. Kami tidak akan terlibat dalam segala tindakan yang dapat merusak martabat atau melakukan diskriminasi terhadap individu berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, umur, kebangsaan, ras, etnis, ideologi, kepercayaan, agama, status sosial, latar belakang keluarga, penyakit dan disabilitas.
- Kami akan mempekerjakan pegawai yang sesuai dengan hukum dan regulasi yang relevan di setiap negara dan wilayah, dan menurut norma dan standar internasional. Kami tidak akan menggunakan buruh anak yang mempekerjakan anak-anak di bawah usia kerja minimum atau kerja paksa yang bertentangan dengan kehendak pegawai.
- Kami akan berusaha menyelesaikan masalah melalui diskusi yang tulus dan konstruktif antara manajemen dan karyawan sesuai dengan hukum, peraturan dan praktik ketenagakerjaan di setiap negara dan wilayah dan sesuai dengan norma dan standar internasional.
(diakses dari https://www.hitachicm.com/global/corporate/conduct/)
Hitachi mengklaim telah memiliki due diligence (uji kelayakan), sehingga pemenuhan HAM para pekerja seharusnya bisa dilaksanakan secara konkret. Apalagi, Jepang sebagai negara asal Hitachi, telah bergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan merekognisi pedomannya. Salah satu prinsip dari instrumen ini adalah memperhatikan standar ketenagakerjaan yang berlaku.
Pihak buruh juga telah mengantongi tiga Anjuran Disnaker, yakni Anjuran No. 565/2152/Disnaker tertanggal 15 Mei 2020, Anjuran No. 565/2568/Disnaker tertanggal 29 Juni 2020 dan Anjuran No. 565/2566/Disnaker tertanggal 29 Juni 2020, yang pada pokoknya menganjurkan agar pemagang diangkat menjadi karyawan tetap di perusahaan.
Dalam pertimbangannya, mediator Disnaker menggunakan Pasal 19 Perda Kabupaten Bekasi No. 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Kabupaten Bekasi menetapkan ketentuan pemagangan sebagai berikut:
- penyelenggara pemagangan dapat melaksanakan pemagangan setelah memberitahukan secara tertulis rencana pemagangan kepada Perangkat Daerah, Kepala Dinas Provinsi dan atau Direktur Jenderal dengan melampirkan program pemagangan, rencana penyelenggaraan pelaksanaan pemagangan dan rancangan Perjanjian Pemagangan yang telah disahkan oleh Perangkat Daerah;
- jenis pekerjaan disesuaikan dengan bidang/kejuruan yang dibutuhkan Perusahaan atau Pemberi Kerja;
- pelaksanaan magang hanya dapat dilakukan maksimal 6 (enam ) jam untuk bekerja, 2 (dua) jam untuk tutorial per hari dengan menggunakan sistem 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
- pelaksanaan yang menggunakan sistem 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, magang dilakukan maksimal 5 (lima) jam untuk bekerja, 2 jam untuk tutorial per hari;
- pelaksanaan magang dilakukan pada waktu siang hari, tidak pada hari libur resmi, dan tanpa ada lembur/tambahan jam belajar;
- pelaku magang berkewajiban untuk menunaikan seluruh kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian pemagangan dengan penuh tanggung jawab sehingga berdampak positif bagi perusahaan.
- apabila ketentuan pada huruf c, huruf d, dan huruf e tidak dilaksanakan, maka peserta pemagangan berubah statusnya menjadi PKWTT di perusahaan tersebut.
Dalam proses mediasi, para pemagang dapat membuktikan bahwa mereka dipekerjakan lebih dari enam jam per hari tanpa tutorial, bahkan mereka juga diharuskan bekerja lembur. Dalam slip gaji yang diberikan perusahaan, juga dicantumkan upah lemburnya.
Anehnya, Anjuran ini bertentangan dengan Nota yang dikeluarkan oleh pengawas ketenagakerjaan yang justru tidak menggunakan Perda Ketenagakerjaan. Hal ini telah dilaporkan oleh F-SEDAR ke Ombudsman Jawa Barat dan sedang dalam proses penyelidikan.
Tidak terima dengan Anjuran Disnaker, Hitachi menggugat para pemagang di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung. Proses persidangan telah selesai dan saat ini para pemagang sedang menanti keputusan pengadilan atas nasib mereka.