Solidaritas.net, Yogyakarta – Ini kisah tentang seorang Geologist yang tak dibayar tepat waktu. Parmin bukan nama sebenarnya, teman saya sewaktu masih kuliah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta.
Parmin lulus kuliah pada tahun 2009. Setelah lulus kuliah, Parmin sempat bekerja sebagai freelance Geologist. Selama tahun 2009-2012, perusahaan tambang mineral dan batubara, banyak mempekerjakan Geologist secara freelance untuk mengakali pajak. Perusahaan mempekerjaan mereka untuk melakukan eksplorasi di wilayah kuasa pertambangan (KP).
Dalam aturan lama, seharusnya perusahaan tambang dan batubara dalam mengeksplorasi wajib menggunakan konsultan tambang resmi. Dengan memanfaatkan para “Geos” freelance ini, perusahaan tambang bisa mengurangi 50 persen biaya eksplorasi jika dibandingkan dengan menggunakan biaya konsultan tambang resmi, plus bebas dari kewajiban membayar pajak kepada negara. Selama ia bekerja sebagai freelance “Geos”, Parmin dibayar minimum 500.000 per hari, tanpa tunjangan keselamatan kerja.
Dua tahun terakhir dia bekerja dia PT. Dwiguna Laksana, salah satu grup dari perusahaan Eksploitasi Energi Indonesia (EEI). PT. Dwi Guna Laksana yang bergerak di bidang eksploitasi pertambangan Batubara, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. PT. DGL ini dimiliki oleh seorang pengusaha pribumi asal Solo dan merupakan salah satu penyuplai batubara untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Parmin bekerja di PT DGL sejak September 2012 hingga saat ini. Ia bekerja sebagai staf Geologist yang bertugas melakukan mapping (pemetaan) geologi, modelling (peta bawah permukaan) dan estimasi sumber daya.
Pada mulanya semua berjalan lancar: gaji dibayar tepat waktu, asuransi (kesehatan, anak dan istri) serta tunjangan lokasi (biaya lapangan) dibayar sesuai perjanjian kerja.
Sebagai Geologist dia bekerja dengan sistem 8-2, yakni delapan minggu bekerja di lapangan (remote area), dua minggu libur. Ia dan rekan-rekannya yang juga mengoordinir buruh lepas harian yang digunakan sebagai pengangkut alat dan melakukan proses pengeboran. Jika dalam kondisi hujan, mereka tidak bekerja (off).
Parmin digaji sebesar Rp. 11 jutaan, sebagai upah kotor, karena dipotong oleh tunjangan lapangan, Jamsostek, asuransi dan pajak pendapatan. Sehingga take home pay yang ia dapat sebesar Rp. 8. 500.00. Sementara, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Geologist ekspatriat fresh graduate (baru lulus) yang bisa upah paling sedikit Rp. 25.000.0000 plus berbagai tunjangan.
Setiap harinya ia bekerja selama 8 jam sehari. Namun tak jarang ia bekerja lebih dari 8 jam kerja, namun lemburannya (overtime) tak dibayar.
Terakhir, Parmin bekerja di lapangan pada 20 September 2014. Ia pun mengambil cuti sesuai dengan sistem kerja. Namun, saat ia kembali ke kampung halamannya, tiket pesawat tidak dibayar oleh perusahaan sesuai dengan kesepakatan kerja. Perusahaan menyatakan agar dia membeli sendiri dan berjanji akan diganti. Namun, setelah cutinya habis, dia tidak kembali bekerja, karena perusahaan belum membayar gajinya di bulan Agustus. Ia pun mengingatkan HRD perihal kewajiban perusahaan untuk menggajinya. Perusahaan menyatakan belum sanggup membayar karena perusahaan dalam kondisi pailit. Namun, Parmin tak lantas percaya, ia mengetahui benar bagaimana perusahaan mendapatkan banyak keuntungan selama ini. Parmin pun menunggu dalam status mengambang: tetap sebagai pekerja namun tidak dianggap “dirumahkan”.
Beberapa waktu kemudian perusahaan menghubungi kembali agar Parmin berangkat ke lapangan dan sudah menyiapkan tiket. Tapi anehnya, tiket pesawat dan upah sebelumnya pun tak dibayar. Dalam kondisi seperti ini, Parmin tak lantas percaya pada perusahaan, dia tetap ngotot agar perusahaan membayar upahnya. Maklum, ia sudah tak lagi membujang. Parmin harus menanggung hidup istri dan seorang anaknya.
Akhirnya, perusahaan membayar gaji bulan Agustus pada tanggal 7 November 2014, namun gajinya bulan September, Oktober dan November tak kunjung dibayar.
Kasus status mengambang seperti kaus Parmin ini sering menimpa para “Geos” yang bekerja di perusahaan tambang mineral dan batubara lokal dan tak jarang pula perusahaan multinasional.
Hukum memperbesar keuntungan pengusaha lewat memperkecil upah (capital variable) dan status mengambang terbukti bisa menimpa pekerja manapun, termasuk “Geos” seperti Parmin.