Guru Besar UGM Angkat Bicara Soal PP Pengupahan

0
Diskusi MAP Corner-Klub MKP tentang PP Pengupahan, Selasa 27 Oktober.
Diskusi MAP Corner-Klub MKP tentang PP Pengupahan, Selasa 27 Oktober.

Solidaritas.net, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, tepatnya 23 Oktober 2015, sebelum presiden Joko Widodo mengunjungi Amerika Serikat, dia telah menandatangani PP No.78/2015 tentang Pengupahan. Pengesahan peraturan itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, bukan hanya buruh. Kali ini Guru besar hukum perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Hermawan, turut angkat bicara.

Dalam sebuah diskusi MAP Corner-Klub MKP, selasa 27 Oktober 2015, Ari Hermawan mencoba mengupas beberapa persoalan dibalik disahkannya PP Pengupahan. Baik itu respon buruh maupun kesesuaian antara PP Pengupahan dengan UU Ketenagakerjaan.

Ari Hermawan menilai, bahwa PP No.78/2015 tentang Pengupahan telah menyimpang dari semangat Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya penyimpangan itu perlu dijelaskan dalam tiga variabel yang saling berkaitan dan perlu ditekankan sejak awal bahwa produk hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tiga politik hukum yaitu politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum serta politik penegakan hukum.

Menggunakan analisa politik pembentukan hukum, Ari melihat bahwa PP Pengupahan dibangun atas dasar logika pertumbuhan ekonomi, di mana negara nampaknya ingin menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku pasar seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Demi pertumbuhan ekonomi, keberpihakan negara tampak lebih condong kepada pelaku pasar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa paket kebijakan yang telah diumumkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, mulai dari paket kebijakan pertama sampai terakhir yang lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha.

Kata Ari, ketika instrumen pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai kerangka tujuan pembangunan negara, maka tidak heran jika regulasi hukum yang dikeluarkan berpihak pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi dengan segala cara. Cara yang biasa diambil ialah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor, terutama asing. Sebab salah satu penopang iklim investasi yang baik ialah buruh yang secara ekonomi murah dan secara politik patuh. Ketersediaan buruh murah menjadi satu variabel yang sangat penting untuk mendatangkan investor. Dalam kerangka ini, PP Pengupahan perlu dipahami sebagai kerangka besar kebijakan untuk menciptakan iklim kondusif bagi pengusaha demi mengatrol pertumbuhan ekonomi.

Kemudian logika politik pembentukan hukum ini berimplikasi pada kerangka politik penentuan hukum. Ari menilai, substansi PP Pengupahan tidak mencerminkan semangat dan roh dari amanat konstitusi yaitu kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakat. Hal yang paling krusial ialah reduksi konsep upah layak ke dalam dua indikator yang diamanatkan PP Pengupahan hanyalah sebatas pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Kebijakan itu, menurutnya mengabaikan sama sekali variabel KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang diamanatkan oleh UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, PP Pengupahan juga punya kecenderungan melanggar peraturan diatasnya. Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa upah ditinjau setiap tahun. Ini artinya, pihak terkait yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah wajib meninjau dan menegosiasikan ulang upah tiap tahunnya dengan mempertimbangkan perkembangan KHL. Tetapi dengan ketentuan PP Pengupahan, peninjauan KHL hanya tiap 5 tahun sekali, sesuatu yang bertentangan dengan amanat UU ketenagakerjaan.

“Di Indonesia, semua roh tentang peraturan harus bersumber dari undang-undang dasar 1945. Dalam konteks PP No. 78/201, ini sangat menyimpang dari roh konstitusi dimana nilai keadilan dan kesejahteraan bersama terkait dengan penghidupan layak bagi buruh tidak terwadahi dalam peraturan. Dari kacamata hukum, PP ini inkonstitusional, karena bertentangan dengan peraturan sebelumnya” tegasnya.

Mengingat problem yang telah muncul sejak pembentukan dan penentuan isi hukum, Ari memprediksi bahwa pelaksanaan kebijakan pengupahan baru ini akan mengalami banyak hambatan. Inilah aspek politik penegakan hukum. Tanpa keterlibatan kelompok sasaran, dalam hal ini buruh, dalam proses pembentukan PP Pengupahan, nampaknya hukum tidak akan berjalan sebagaimana yang diinginkan.

Sumber: MAPCorner-KlubMKP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *