Hak Buruh Perempuan Hamil yang Perlu Diketahui dan Harus Dipenuhi

Ilustrasi buruh perempuan bekerja di pabrik (flickr)

Solidaritas.net – Sering kita membaca dan menyaksikan banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak kaum perempuan di dunia kerja yang berbasis gender, terutama buruh perempuan yang bekerja di sektor manufaktur.

Padahal, setiap individu manusia punya hak dan kesempatan yang sama, baik itu peluang, upah dan perlakuan dalam dunia kerja. Namun, dalam praktiknya sangat jauh dari harapan, hak asasi yang melekat pada perempuan, yakni hak untuk haid, hamil, melahirkan dan menyusui sering diabaikan.

Pengusaha dengan banyak alasan, secara sporadis  maupun sistematis sering mengabaikan dan tidak memberikan jaminan bagi perempuan sebagai manusia yang memiliki fungsi reproduksi tersebut. Ini kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan kita dan  Konvensi International Labour Organization (ILO).

Misalnya, dalam BAB XA Hak Asasi Manusia, pasal 28 mengatakan seorang buruh perempuan, terlepas dari status kerjanya, berhak mendapatkan perlindungan, berhak mendapatkan rasa aman dan dilindungi dalam menjalankan hak-hak asasinya, sekaligus terbebas dari segala bentuk perlakuan tidak adil atau diskriminatif dalam bentuk apapun.  

Baca: Spanduk Solidaritas untuk Buruh AICE di Laga Persib vs PSS Sleman

Sebab itu, lebih jauh dalam Perlindungan atas hak-hak maternitas buruh perempuan yang disahkan dalam ILO Nomor 183 tentang Perlidungan Maternitas  menegaskan bahwa seorang buruh perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk bekerja, sekaligus menjalankan peran maternitasnya, tanpa dikecualikan dan dipisahkan satu sama lain.

Perlindungan hak maternitas buruh perempuan dalam Konvensi ILO No. 183 juga cukup tegas dan mencakup hampir secara keseluruhan untuk rasa aman terhadap buruh perempuan. Hak maternitas itu tidak saja hanya pada saat melahirkan, namun mulai dari haid, hamil hingga menyusui. Perempuan yang hamil juga tetap memperoleh pekerjaan dengan syarat mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan bayi yang ada di kandungannya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

Konvensi ini juga mengatur hak cuti 14 minggu  atau 98 hari untuk buruh perempuan hamil, namun sayangnya, di Indonesia cuti melahirkan hanya diberikan selama tiga bulan, yang berarti sekitar 90-93 hari. Pemerintah seharusnya menetapkan cuti tiga bulan satu minggu agar memenuhi standar konvensi ini.

Hingga menjelang akan melahirkan, buruh perempuan berhak memperoleh cuti sekurang-kurangnya tiga bulan, dan hak upah, kondisi kerja, dan status kerja tetap setaran dan diberikan oleh pengusaha selama isitrahat cuti melahirkan tersebut dan jaminan kesehatan dan kebutuhan keluarga lainnya.

Sementara, hak tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, walau belum cukup tegas, namun juga memberi jaminan terhadap buruh perempuan di tempat kerja. Misalnya, hak cuti bagi perempuan dengan upah terus dibayar (Pasal 82) dan Pasal 82 terkait cuti hamil dan melahirkan dengan memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

Selain itu, selama masa kehamilan, dalam Pasal 76 Ayat 2, buruh/pekerja perempuan hamil dilarang bekerja pada malam hari dengan keterangan dokter. Bekerja pada malam hari dapat membahayakan bayi dalam kandungannya. Apalagi sampai bekerja shift malam dengan kerja target dan beban kerja yang berat. Itu sangat tidak dianjurkan.

Merujuk pada riset dari American Journal of Obstetrics and Gynecology 2019 yang dikutip The Jakarta Post dengan judul “Factory work blamed for fetal deaths” pada tanggal 5 Maret 2020, menyebut perempuan hamil dengan shift malam 23 persen lebih mungkin mengalami keguguran.

Baca: Hak Buruh Perempuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan

Untuk perempuan yang dipekerjakan pada malam hari, maka pengusaha wajib menyediakan angkutan antar-jemput buruh/pekerja dan menyediakan serta memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi untuk kebutuhan kalori harian sebesar 1.400 kalori dan itu tidak boleh diganti dengan sejumlah uang.

Apalagi setelah hamil, melahirkan atau menikah, hak-hak buruh perempuan harus di pulihkan dan pengusaha tidak boleh memberhentikan (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) buruh perempuan. Ini disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1989.

Namun, hak-hak maternitas perempuan dalam dunia kerja semacam ini sering sekali tidak terlaksana. Pengusaha bahkan sering menghambat pengurusan buruh perempuan mengurus cuti haid dengan aturan bertahap-tahan dan melelahkan hingga ada buruh perempuan yang bosan dan tidak lagi melakukannya. Apalagi, ada perusahaan yang menggunakan ‘dokter/klinik pribadi’ dengan tidak mengeluarkan surat cuti kepada perempuan.

Di sisi lain juga, pengusaha nakal yang tidak ingin memenuhi hak cuti melahirkan buruh, biasanya memaksa buruh untuk mengundurkan diri. Problem ini sering menimpa buruh perempuan berstatus kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).

Namun, hak-hak itu harus dituntut untuk diberikan, harus ditegaskan untuk ditegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar buruh perempuan tidak selalu diperlakukan dengan tidak sewajarnya dalam dunia kerja.

Pemenuhan hak-hak serta perlindungan terhadap buruh perempuan di tempat kerja yang aman dan ramah sangat diperlukan untuk menghargai dan memanusiakan buruh

Tinggalkan Balasan