
Solidaritas.net – Cuti merupakan hak dasar pekerja/buruh yang wajib diberikan perusahaan tempat dimana dia bekerja. Hak cuti ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan hak cuti ini jelas merupakan dasar hukum yang patut dijalankan untuk memenuhi hak pekerja/buruh agar tidak atau menghindari perselisihan.
Kadang kita mendengar orang beranggapan bahwa jika cuti ini diberikan terus kepada pekerja/buruh, maka buruh akan menjadi pemalas. Anggapan ini sepenuhnya keliru. Orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam dunia perburuhan kerap salah menafsirkan hak cuti pekerja/buruh ini. Padahal justru sebaliknya. Hak ini jika terpenuhi dan di perhatikan, maka intensitas dan semangat pekerja/buruh dalam bekerja semakin loyal.
Walau begitu, hak cuti ini kadang diabaikan dan dihambat perusahan. Perselisihan perihal hak cuti ini juga kerap terjadi. Baik saat melakukan pengajuan, waktu, proses persetujuan, waktu cuti hingga adanya pemotongan upah saat melakukan cuti. Para pekerja/buruh juga sering belum tahu betul apa saja hak cuti mereka ketika bekerja di sebuah industri atau instansi. Sebab itu, Hak cuti yang terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini menjadi penting untuk dipelajari dan dijalankan oleh baik pekerja/buruh dan perusahaan.
Baca juga: Bedanya Cuti Bersama PNS dengan Pekerja Swasta
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan wajib memberikan cuti kepada pekerja/buruh dan pekerja/buruh akan tetap mendapatkan upah meski sedang mengambil cuti. Mengacu pada UU Ketenagakerjaan tersebut, berikut akan diuraikan hak-hak cuti pekerja/buruh yang wajib diberikan perusahaan:
Hak Cuti Tahunan
Dalam Pasal 79 dan 84 UU Ketenagakerjaan, terkait cuti tahunan disebutkan setiap pekerja/buruh berhak 1 (satu) hari cuti dalam sebulan dan atau 12 (dua belas) hari dalam setahun. Syarat untuk memperoleh cuti tahunan ini sekurang-kurangnya 12 hari cuti tahunan jika pekerja/buruh telah bekerja minimal 1 (satu) tahun atau 12 (dua belas) bulan secara terus menerus di sebuah perusahaan.
Standar hak cuti tahunan ini sering tidak berjalan sesuai aturan. Kadang pekerja/buruh yang belum bekerja genap setahun atau 12 bulan sudah mendapat atau diberikan izin cuti oleh perusahaan. Padahal, perusahan bisa menolak untuk memberikan cuti. Jika cuti tersebut tetap diberikan, yang terjadi sering hak cuti tersebut mendapatkan pemotongan upah yang besarnya kadang harus tercantung dalam perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan perusahan tempat dia bekerja.
Hak Cuti Sakit
Selain cuti tahunan, cuti sakit adalah hak wajib yang harus diberikan perusahan kepada pekerja/buruh yang sakit di luar hitungan cuti tahunan agar pekerja/buruh bisa berisitrahat dan memulihkan kondisi fisiknya hingga benar-benar sembuh. Cuti sakit ini bisa berupa, sakit demam atau kecelakaan kerja saat bekerja atau di luar jam kerja sesuai dengan surat izin dari dokter. Karena, siapapun yang sakit bukan di buat-buat namun terjadi bisa karena banyak faktor.
Cuti sakit ini juga tidak membuat buruh kehilangan upah. Upah buruh tetap dibayarkan selama masa cuti sakit. Ini sesuai dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a. Namun jika sakit itu berkepanjangan atau dalam waktu lama, diatur dalam ketentuan pembayaran upah tidak penuh sesuai dengan Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagerjaan.
Baca juga: Hak Buruh Perempuan Hamil yang Perlu Diketahui dan Harus Dipenuhi
Pada kasus cuti sakit dalam waktu lama, diatur dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan terkait pembayaran upah pekerja/buruh yang sakit, diantaranya; (1) empat bulan pertama, pekerja/buruh di bayar 100% upah kerja penuh, (2) bila masih sakit, maka upah kerja akan di bayar 75% selama 4 bulan kedua, (3) bila belum sembuh juga makan pekerja/buruh dibayarkan 50% dari upah kerja, dan (4) dan bulan selanjutnya dibayarkan 25% dari upah kerja, kemudian pekerja/buruh dan perusahan harus mencari solusi bijak untuk status pekerja/buruh dalam perusahan. Apakah akan dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pensiun dini atau pekerja/buruh mengundurkan diri.
Hak Cuti Haid
Hak cuti haid atau menstruasi merupakan cuti yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan bila merasakan sakit pada hari pertama dan kedua masa haid atau menstruasi. Pekerja/buruh perempuan dalam masa haid yang merasakan sakir wajib memberitahukan kepada perusahaan dan perusahan wajib membayar upah pekerja/buruh yang menjalani cuti hadi sesuai peraturan dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b). Pelaksanan ketentuan ini harus juga diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama
Hak Cuti Melahirkan
Citu melahirkan ini wajib diperoleh pekerja/buruh perempuan dan harus diberikan perusahan selama 3 bulan dengan perincian 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Walau aturan ini belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional yang mengatur hak cuti harus selama 14 minggu atau 98 hari untuk buruh perempuan hamil. Sama halnya dengan cuti haid, upah pekerja/buruh harus dibayar selama cuti berjalan.
Hak Cuti Besar
Cuti besar adalah cuti dengan istirahat yang panjang. Misalnya selama sebulan masa cuti berjalan. Cuti ini biasanya diberikan perusahan kepada pekerja/buruh yang dinilai loyal dan bekerja sudah bertahun-tahun di perusahan, minimal selama 6 tahun kerja. Namun biasanya cuti ini dilaksanakan di perusahan-perusahan tertentu.
Hak Cuti Urusan Penting
Seorang pekerja/buruh berhak mengajukan cuti bila ada urusan atau keperluan penting dan berhalangan kerja. Cuti dengan urusan penting ini juga harus mengajukan permohonan dan wajib diberikan perusahaan tanpa mengurangi upah dan dibayar selama sebulan penuh.
Dalam UU Ketenagakerjaan, pada Pasal 93 ayat 4 mengatur terkait cuti urusan atau keperluan penting ini, yakni;
(1) buruh menikah,
(2) buruh menikahkan anaknya,
(3) buruh mengkhitankan anaknya,
(4) buruh membaptis anaknya,
(5) istri melahirkan/mengalami keguguran kandungan,
(6) suami/istri, orang tua/mertua. anak atau menantu meninggal dunia,
(7) anggota keluargga dalam satu rumah meninggal dunia,
(8) buruh sedang menjalankan kewajiban negara,
(9) buruh sedang menjalankan ibadah agamanya, dan
(10) buruh melaksanakan tugas serikat.
Kesemua hak-hak yang disebutkan dan dijelaskan diatas harus terpenuhi tanpa ada upaya diskriminasi dan ancaman dari pihak perusahan. Hak cuti ini menjadi penting agar buruh semakin optimis dan tetap loyal dalam menjalankan pekerjaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu untuk menjaga terjalinnya hubungan dengan baik antara pekerja/buruh dan pengusaha.