Harga Sembako Melonjak, Pemerintah Gagal Berantas Mafia

0

Jakarta Setiap memasuki bulan ramadan, kebutuhan pokok seringkali mengalami kenaikan harga. Banyak faktor yang menyebabkannya, salah satunya adalah adanya praktek penimbunan barang yang dilakukan oleh distributor besar.

Harga sembako (smeaker.com)

Jumlah barang yang dilempar ke pasar lebih kecil daripada jumlah produksi. Ini karena distributor besar melihat peluang untuk ‘bermain’ dengan stok barang dan harga menjelang lebaran. Cara meraup keuntungan semacam ini sangat merugikan masyarakat.

Stok bawang merah misalnya, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Spudnik Sujono menuturkan, selama ini jumlah bawang merah yang masuk ke pasar dengan total produksi, tidak sesuai. Dia menduga, “pedagang” sengaja menahan lantaran tahu stok bawang merah cukup banyak.

Dia menegaskan, produksi bawang merah untuk kebutuhan Mei, Juni, dan Juli 2016 aman, yakni sekitar 100 ribu ton. Bahkan, menurut data Kementerian Koordinator bidang Perekonomian disebutkan bahwa produksi bawang merah sekitar 140 ribu ton.

“Kalau saya selaku Dirjen Hortikultura menyampaikan bahwa produksi untuk Mei, Juni, Juli aman. Bawang merah semua. Jadi aman. Terus terang menurut saya 100 ribu ton. Tapi menurut analisis independen dari Menko (produksi bawang merah) bisa sampai 140 ribuan ton, artinya melampaui itu. Kita kan per bulan rata-rata 90 ribu ton,” ujarnya.

Terkait kebutuhan pokok lainnya, Menteri Pertanian Amran mengatakan stok aman.

“Minyak goreng 1,8 juta ton, kebutuhan kita 400.000 ton, artinya stok empat kali lipat, ayam dua kali lipat, beras juga dua kali lipat, jadi stok kita aman,” ujarnya dikutip dari Merdeka.com.

Jumlah stok kebutuhan pokok memang melimpah, tapi harganya masih saja tinggi karena praktik spekulan dan penimbunan barang.

Di Jakarta Timur, para pedagang di pasar Kramat Jati mengungkapkan, hampir seluruh harga komoditas pangan merangkak naik. Bawang merah Brebes Rp 40.000 perkilo, minyak goreng dari Rp50.000 per satu jirgen menjadi Rp60.000 dan gula pasir yang sebelumnya Rp12.000-Rp14.000 menjadi berkisar Rp15.000-Rp16.000.

Harga telur sebelum puasa antara Rp19.200-Rp21.000 perkilo, kini Rp25.000, Komoditas daging ayam juga naik sebesar Rp5.000 sampai 10.000 perkilo. Di pasar tradisional Mamuju Utara, Sulawesi Barat,  harga daging sapi melonjak drastis. Dari harga sebelumnya yang hanya Rp70.000 perkilo, kini Rp110.000 perkilo.

Situasi ini sangat membebani masyarakat terutama masyarakat kelas bawah yang berpenghasilan rendah. Bahkan, buruh berpenghasilan senilai upah minimum dan memperoleh tunjangan hari raya (THR) sekalipun sangat keberatan apabila harga kebutuhan pokok melonjak yang mencapai puluhan ribu.

Seorang buruh di Tangerang pernah menyampaikan keluhannya, menurutnya semenjak harga kebutuhan pokok mahal, belanja seperti dirampok. THR tidak dapat meringankan beban buruh harga yang tinggi, apalagi lebaran tahun ini bertepatan dengan pendaftaran sekolah anak yang juga membutuhkan banyak biaya.

Dilansir dari Repelita.comWakil Presiden RI, Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk sedikit ikhlas menghadapi situasi ini. Kenaikkan harga itu kata dia akan menguntungkan petani maupun peternak, yang di luar Idul Fitri belum tentu meraup untung banyak.

Hal ini tidak benar, karena biasanya pedagang membeli hasil pertanian dengan harga murah. Pantauan penulis terhadap harga cabe rawit misalnya, di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pedagang membeli cabe milik petani dengan harga Rp12.500-Rp15.000 perkilo, lalu dijual sekitar Rp20.000-25.000 perkilo.

Hasil pertanian dibeli murah, dijual dengan harga mahal. Keuntungan tidak diperoleh oleh petani, melainkan oleh pemilik modal besar yang mampu mengambil peran sebagai distributor. Dengan modalnya, distributor mampu membeli dari petani dan menyediakan fasilitas penyimpanan (pengawetan). Sedangkan, sebagian besar petani tidak dapat menolak tawaran harga rendah, karena khawatir jika hasil ladangnya tidak laku dan busuk.

Saat bulan ramadan, konsumsi dan belanja masyarakat meningkat, apalagi menjelang lebaran. Saat itulah, distributor melempar barang ke pasar dengan harga yang sudah ditentukan. Sudah menjadi rahasia umum jika distributor maupun importir biasanya memiliki beking dari penguasa. Terbongkarnya kasus suap impor sapi pada tahun 2013 yang melibatkan petinggi PKS menjadi salah satu bukti kongkalikong penguasa dan pengusaha dalam mempermainkan harga pasar.

Seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara memutus rantai mafia, tetapi budaya korupsi yang menggurita di kalangan pejabat membuat harapan ini masih jauh menjadi nyata. Akhirnya, lonjakan harga sembako hanya dipandang sebagai rutinitas persoalan rakyat setiap tahun yang dihibur dengan operasi pasar yang seringkali tidak tepat sasaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *