Sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan Lingkar Studi Ciputat melakukan aksi unjuk rasa mendesak Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla mengundurkan diri dari jabatannya karena gagal menepati janji politiknya, Kamis (10/9/2015), di depan Istana Negara, Jakarta (Link sumber, Tempo, 10 September 2015). Para mahasiswa ini melakukan aksinya dengan cara yang sangat ngehek dan memalukan, karena mengenakan topeng Jokowi – JK disertai dengan pakaian dalam wanita (bra) sebagai atribut aksi.
Dengan mengenakan topeng Jokowi-JK dan bra, mahasiswa ini meniru-nirukan gaya perempuan atau bertingkah seperti transgender. Celakanya lagi, seorang anggota polisi yang berada di lokasi kejadian ikut-ikutan meniru gaya para mahasiswa itu. Logika tipikal mereka: “Jokowi itu busuk, gagal, pembohong. Jokowi itu banci, maka Jokowi harus pakai bra, seperti perempuan.”
Bukan kali pertama bra dipakai sebagai atribut aksi. Pada 11 November 2014, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Serang melakukan aksi unjuk rasa menolak renana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah pusat. Para mahasiswa mengenakan bra sebagai bentuk kritik bahwa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Yusuf Kalla terlihat banci dalam menghadapi persoalan BBM. (Link sumber, Berita Satu, 11 November 2014)
Bandingkan dengan unjuk rasa yang terjadi baru-baru ini di Hong Kong yang juga menggunakan bra di depan kantor polisi Wan Chai. Tapi mereka bukan sedang menyudutkan perempuan, justru mereka sedang membela seorang perempuan, Ng Lay-ying, yang diputus bersalah dengan tuduhan menyerang polisi dengan menggunakan payudaranya.
“Payudara bukan senjata,” slogan aksi itu untuk memprotes tuduhan polisi dan hakim.
Kembali ke mahasiswa ngehek yang menggunakan stereotipe gender dalam aksinya, entah apa yang dipelajari oleh para mahasiswa ini di kampus dan gerakan aktivisme-nya. Yang jelas, mereka tidak belajar bagaimana menjadi individu dan kelompok yang sensitif gender, yakni kepekaan terhadap masalah gender dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Aksi-aksi yang menyudutkan penguasa sekaligus perempuan semacam ini sering dianggap wajar. Ada komentar di berita foto Tempo tersebut yang justru hanya mengkhawatirkan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden karena fotonya diinjak-injak oleh massa aksi, dan pembelaan lainnya terhadap pemerintahan Jokowi. Tidak dipersoalkan bagaimana penggunaan bra itu menyakiti dan merendahkan martabat perempuan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat kita mengidap androsentrisme yang melihat laki-laki dan nilai-nilanya sebagai pusat dunia.
Sah-sah saja para mahasiswa ini melakukan aksi, bahkan dengan niat menggulingkan pemerintahan Jokowi. Tapi, gerakan seperti ini juga tidak menunjukan kesiapan mereka untuk menggantikan kekuasaan Jokowi. Bukan karena mereka masih sebuah kelompok kecil, sungguh bukan. Kekuatan bisa dibangun, massa bisa diorganisir, pemimpin baru bisa dilahirkan. Tetapi, mereka tidak siap menggulingkan kekuasaan lama dan membangun kekuasaan baru yang lebih baik, dilihat dari cara mereka memperlakukan bra untuk menyudutkan Jokowi-JK beserta sekalian kaum perempuan.
Saya sendiri tidak pernah yakin dengan gerakan yang tidak menghadirkan perempuan sebagai manusia yang setara di dalamnya, apapun isu dan organisasinya. Meskipun kadang ada kompromi di mana isu-isu perempuan tidak didahulukan. Namun, hanya dalam hal prioritas saja karena keterbatasan sumber daya dan adanya program mendesak dalam situasi tertentu, tidak untuk merendahkan kepentingan perempuan.
Mengutip semboyan gerakan perempuan Nikaragua: “Tidak ada revolusi tanpa pembebasan perempuan, tidak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi.”