Impor Tinggi, Indonesia Diprediksi Bisa Kena Krisis

Solidaritas.net, Nasional – Pemerintahan SBY kerap menggembar-gemborkan Indonesia sebagai negara yang berhasil meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas 6 persen. Namun, ternyata Indonesia masuk sebagai negeri yang rentan dan beresiko terkena krisis karena impor tinggi.

Indonesia masuk sebagai negeri yang disebut ‘The Fragile Five’, yakni negeri yang akan terguncang jika bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) mengurangi program stimulusnya (tappering off).
India, Indonesia, Afrika Selatan, Turki dan Brazil dikenal sebagai ‘fragile five’—sederhananya “tidak memiliki fleksibilitas yang sama seperti negeri maju,” kata Johanna Kyrklund, Kepala Strategi Multi-Aset di Schroders PLC yang berbasis di Inggris ini.
“Pada dasarnya, ekonomi pasar yang berkembang tidak benar-benar memiliki kesempatan untuk mengimbangi likuiditas, baik karena memiliki masalah inflasi atau tidak bisa membiarkan mata uang jatuh,” jelas Kyrklund dilansir dari financialpost.com (20/11).
Media asing lainnya juga ramai memberitakan kerentanan lima negara ini. Setelah krisis global 2008, The Fed melakukan kebijakan stimulus pembelian surat utang hingga jutaan dollar per bulan. Sampai saat ini, sudah ada sekitar US$ 4 triliun atau Rp 40.000 triliun uang yang beredar dari program ini di seluruh dunia.
Alasan The Fed mengurangi stimulusnya karena ekonomi AS dinilai sudah membaik. Jika hal ini dilakukan, maka pasokan dolar ke dunia akan mengering. Indonesia menjadi salah satu negeri yang terancam krisis akibat kekurangan dolar, padahal impor atau pembelian barang dan jasa dari luar negeri terbilang tinggi.
Situasi ini diakui oleh Menteri Keuangan Chatib Basri dalam acara Kompas 100 CEO Forum di JCC Senayan, Jakarta, pada Rabu (27/9/2013).
“Indonesia sebagai sebuah negara yang awal tahun lalu menjadi lirikan investor global, tiba-tiba di dalam bulan Juli dan Agustus itu, dikategorikan sebagai negara yang The Fragile Five…Selama 4 tahun kita hidup di dunia yang dibantu oleh quantitative easing (stimulus The Fed). Sebenarnya kita bicara dengan dunia yang normal adalah dunia tanpa quantitave easing,” ucap Chatib Basri kepada detikfinance.com.
Di sisi lain, penerimaan ekspor mengalami penurunan. Pemerintah berusaha keras memperkecil defisit transaksi berjalan, atau dengan kata lain, memperkecil defisit ekspor. (Rn)

Tinggalkan Balasan