[Infografis] Buruh Perempuan Dipaksa Mundur Ketika Hamil

0

Solidaritas.net – Tiga Pamdal perempuan DPR RI dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa pesangon karena hamil. Ratna Hayu (hamil 4 bulan), Dewi Irian (hamil 9 bulan) dan Romdatun (hamil 6 bulan) diberhentikan pada tanggal 15 Januari berdasarkan surat yang ditandatangani oleh Direktur Administrasi dan Keuangan PT Kartika Cipta Indonesia (KCI), Andi Ida Nursanti (Pikiran-rakyat.com, 30 Januari 2015)

Kejadian ini tentu sangat mengganggu, apalagi ternyata salah satu dari mereka, Dewi Iriana telah bekerja selama 8 tahun dengan status sebagai pekerja outsourcing. Gaji pun terbilang minim, hanya sesuai UMR sebesar Rp2,4 juta, berbanding jauh dengan gaji dan tunjangan anggota DPR yang bisa mencapai puluhan juta.

Dari DPR pula berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan, termasuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di mana salah satu pasalnya, yakni pasal 153 ayat (1) huruf (e) mengatur pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh perempuan sedang hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya. Namun, nyatanya DPR yang justru melakukan pelanggaran ketenagakerjaan.

Lebih jauh lagi pasal 10 ayat (1) UU Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Seringkali buruh perempuan dikondisikan untuk menyetujui syarat larangan hamil agar dapat diterima bekerja. Perjanjian tersebut kerap tidak secara tertulis, namun secara lisan saja. Demi mendapatkan pekerjaan, buruh perempuan kerap terpaksa menerima alias tak berdaya. Meski begitu, sebenarya perjanjian macam begini tidak dibenarkan.

Pasal 52 UU Ketenagakerjaan melarang memperjanjikan sesuatu yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian semacam ini baik tertulis maupun tidak secara otomatis batal demi hukum.

Di Indonesia, diskriminasi terhadap buruh perempuan, khususnya yang sedang hamil, memang masih banyak terjadi di berbagai perusahaan. Padahal, sejak tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Komitmen pemerintah untuk melaksanakan konvensi ini sampai pada kebijakan konkrit tidak dilakukan. Akibatnya, pelaku usaha secara leluasa melanggar berbagai peraturan perundang-undangan karena pengawasan dan penegakkan hukum ketenagakerjaan masih lemah.
Klik untuk memperbesar – Lisensi CC-BY-SA-3.0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *