Solidaritas.net, Batam- Pengusaha kerap menggunakan cara-cara tertentu untuk mengendorkan perlawanan buruh demi memastikan proses produksi tetap berjalan. Seperti yang tertuang dalam kesepakatan bersama yang dibuat oleh pengusaha bersama buruh yang aktif di serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) PT Philips Batam, pada Jumat(19/6/2015).

Terdapat beberapa poin dalam surat kesepakatan bersama tersebut yang menerangkan bahwa pengusaha berupaya menyelamatkan proses produksi dengan cara melarang buruh melakukan aksi mogok kerja. Meskipun larangan terhadap aksi mogok kerja itu dibarengi dengan syarat-syarat lainnya yang seolah-olah memihak kaum buruh.
Adapun kesepakatan yang dimaksud yaitu:
Pasal 1
- Perselisihan hubungan industrial terkait dengan PHK (pemutusan hubungan kerja-ed) atas pekerja akan diselesaikan sesuai tatacara dalam UU Nomor 2 Tahun 2004.
- Selama proses PHK pengusaha akan membayarkan upah pokok dan hak-hak pekerja hingga adanya putusan PHI (pengadilan hubungan industrial-ed) yang berkekuatan hukum.
Pasal 2
- Mogok berakhir seketika setelah kesepakatan ini ditandatangani oleh pengusaha dan PUK.
- Selambat-lambatnya 30 menit setelah ditandatanganinya kesepakatan ini PUK wajib memberitahukan berakhirnya mogok kepada seluruh pekerja yang melakukan mogok dan bahwa mulai 20 Juni 2015 seluruh pekerja yang melakukan mogok tersebut wajib bekerja sesuai jadwal kerja masing-masing.
Pasal 3
- Masing-masing pekerja yang melakukan mogok wajib menandatangani pernyataan bersedia kembali bekerja dan tidak akan kembali melakukan mogok.
- Pengusaha akan membayarkan upah kepada pekerja yang melakukan mogok yang menandatangani pernyataan pada butir 1 di atas.
- Pengusaha tidak akan membayarkan upah selama mogok kepada pekerja yang melakukan mogok yang menolak menandatangani pernyataan pada butir 1 di atas.
- Sesuai UUD RI 1945 UU Nomor 21 Tahun 2000 dan UU Nomor 13 Tahun 2003 pekerja berhak mendirikan serikat pekerja di perusahaan
Padahal mogok kerja adalah hak buruh yang dilindungi hukum sebagaimana yang tertuang dalam pasal 143 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menjelaskan “Siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.”
Sedangkan apabila pengusaha menghalangi aksi mogok yang dilakukan buruh maka itu tergolong tindak pidana kejahatan dan diberi sanksi sesuai pasal 185 UU ketenagakerjaan yaitu penjara minimal 1 tahun, maksimal 4 tahun dan atau denda minimal Rp.100 juta, maksimal Rp.400 juta.
Selain itu, adapula pasal 144 UU ketenagakerjaan melarang pengusaha mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan, juga melarang pengusaha memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja, asalkan mogok kerja dilakukan sebagaimana diatur dalam UU tsb. Ancaman pidana bagi pengusaha tertuang dalam Pasal 187 UU Ketenagakerjaan yaitu pidana kurungan minimal 1 bulan, maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp.10 juta, maksimal Rp.100 juta.
Diketahui buruh PT Philips melakukan aksi mogok kerja karena menolak keputusan PHK sepihak yang dilakukan pengusaha. Diduga PHK tersebut dilakukan karena adanya aktivitas berserikat yang belum lama dilakukan di PT Philips. (Baca juga: Dikenai PHK Sepihak, Ratusan Buruh PT Philips Batam Mogok Kerja dan Dikenai PHK Sepihak, Buruh PT Philips Nilai Pemko Batam Lemah)
Dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian bersama (PB) tersebut, maka buruh mematikan satu-satunya kekuatan yang dimilikinya, yakni menghentikan proses produksi. Buruh menyerahkan nasib buruh-buruh yang dikenai PHK kepada PHI yang selama ini sudah dikenal sebagai ‘kuburan buruh’.
Jika merujuk pada ketentuan pasal 143, 144 dan 185 UU Ketenagakerjaan tersebut, maka seharusnya kesepakatan mengenai “tidak akan kembali melakukan mogok” adalah tidak benar dan cacat hukum. Juga balasan dalam bentuk “pengusaha tidak akan membayarkan upah” kepada buruh yang menolak menandatangi pernyataan “tidak akan kembali melakukan mogok” adalah sepenuhnya melanggar. Jadi, pengurus serikat dan pengusaha sedang memperjanjikan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan, dan lebih jauh lagi, memasung hak mogok buruh itu sendiri.
UU Ketenagakerjaan sendiri mengandung kelemahan yang sangat fatal. UU yang sebenarnya sebagian besar isinya tidak menguntungkan buruh ini, semakin buruk karena tidak terdapat sanksi yang jelas dan aparatus penegak hukum yang jelas untuk menjamin pelaksanaannya. Akibatnya, pengusaha mendapatkan celah yang besar untuk melanggarnya, termasuk dengan membuat perjanjian bipartit bersama pengurus serikat pekerja untuk melanggarnya.
Disnaker sebagai pihak pemerintah yang diharapkan untuk menjalankan ketentuan UU Ketenagakerjaan, mandul. Pelanggaran hak normatif dibiarkan terus berlangsung di perusahaan-perusahaan bertahun-tahun dengan alasan teknis dan klasik: kekurangan personil.
Dalam situasi ketidakpastian hukum seperti ini, buruh dilemparkan ke belantara untuk bertarung dengan pengusaha yang memiliki kekuatan modal. Satu-satunya andalan buruh adalah (jika) mampu menguasai proses produksi. Hukum kerap mengaburkan kenyataan ini. Buruh lebih sibuk mempelajari pasal demi pasal ketimbang memperkuat kemampuan buruh dalam menghentikan proses produksi dengan penyadaran, demokrasi (terutama internal) dan solidaritas.