Jaminan Kesehatan BMI Lebih Rendah Dibandingkan Filipina

Solidaritas.net | Baru-baru ini, Organisasi Perburuhan Sedunia (ILO) merilis laporan yang menyebutkan kondisi jaminan kesehatan BMI (Buruh Migran Indonesia) lebih rendah daripada buruh migran negeri lainnya, seperti Filipina dan Srilanka.

buruh migran menuntut
© Tangankirinyaindonesia.blogspot.com

Sistem asuransi untuk para BMI cenderung mengkomersilkan perlindungan BMI yang menyebabkan seringnya terjadi konflik kepentingan antara pembayaran ganti rugi dengan perolehan keuntungan perusahaan asuransi. ILO membandingkan sistem asuransi untuk buruh migran Filipina yang dikelola oleh badan pemerintah yang melekat pada Departemen Tenaga Kerja. Premi asuransinya adalah USD 25 yang dibayarkan oleh majikan atau pekerja migran itu sendiri.

Jaminan yang diberikan adalah asuransi jiwa, tunjangan cacat, bantuan hukum, penyuluhan psikologi, beasiswa, pinjaman pra-keberangkatan, pinjaman bantuan keluarga dan dukungan reintegrasi. Biaya lain sebesar US$ 18 harus dibayar oleh pekerja migran Filipina untuk asuransi kesehatan, yang dikelola bersama oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, Sistem Jaminan Sosial dan Departemen Luar Negeri.

Yang membuat jaminan kesehatan BMI menjadi lebih buruk kondisinya karena  perusahaan asuransi yang ditunjuk tidak diharuskan mendirikan kantor perwakilan di berbagai negeri penempatan. Akibatnya, BMI tidak dapat mengakses klaim jika terjadi sesuatu karena kantor perusahaan asuransi hanya berada di Jakarta.

ILO mencatat setiap tahunnya lebih dari 700.000 warga negara Indonesia meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan di luar negeri dengan menjadi buruh migran. Tujuan utama mereka adalah Timur Tengah dan Asia, dengan dua tujuan paling banyak adalah Malaysia dan Arab Saudi.

Pada tahun 2009 saja, Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyatakan bahwa ada sekitar 4,3 juta pekerja saat ini bekerja di luar negeri, yang menyumbang sekitar Rp. 8,2 miliar devisa pada perekonomian nasional di tahun 2007 sampai 2008. Jumlah pekerja migran yang tidak berdokumen diperkirakan 2-4 kali lebih tinggi. Sekitar 75% dari seluruh pekerja migran yang terdata adalah perempuan, dengan sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Pekerjaan rumah tangga itu sendiri sebenarnya bukan kerja paksa, tetapi pekerja rumah tangga yang tidak proporsional rentan mengalami berbagai bentuk eksploitasi tenaga kerja yang parah, termasuk kerja paksa dan perdagangan. Para pelaku praktek ini sebagian besar broker, agen perekrutan, pengusaha dan para pejabat. Eksploitasi dan pelanggaraan yang kerap terjadi terhadap pekerja rumah tangga berupa; penipuan soal kondisi kerja, dan pemotongan gaji; dokumen perjalanan yang palsu; setelah sampai kontrak mereka diubah menjadi lebih buruk; menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual; kerusakan atau kehilangan paspor mereka, pelecehan dan pemerasan, penahanan dan penganiayaan oleh aparat penegak hukum; pengusaha dan agen-agen swasta; terjerat hutang karena biaya perekrutan berlebihan yang ilegal; pemasungan dan dicegah untuk berkomunikasi dengan keluarga dan dunia luar, sampai; jam kerja yang berlebihan tanpa hari libur. Yang paling anyar, bahkan penganiayaan, pemerkosan, sampai dengan pembunuhan.

Tinggalkan Balasan