Solidaritas.net, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjanjikan dukungan sebanyak 1,4 juta suara kepada pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
“Jauh-jauh hari sebelum semua organisasi mendeklarasikan diri mendukung salah satu capres kami telah mendeklarasikan diri mendukung Prabowo. Dengan semua anggota konfederasi yang tergabung dalam KSPI, ada 1,4 juta suara yang akan kami sumbang untuk Prabowo,” jelas Said menunjukkan loyalitasnya pada Prabowo, di Hotel Mega Proklamasi Jakarta, Senin (2/6), dilansir dari Jaringnews.com.
Dukungan ini diberikan karena Prabowo mau menandatangi kontrak politik untuk menjalankan sepuluh tuntutan rakyat (Sepultura) di antaranya, hapus outsourcing, kenaikan upah 30 persen, jaminan kesehatan dan dana pensiun untuk buruh.
Di pihak lain, aktivis Danial Indrakusuma mengungkapkan 1,4 juta suara buruh tersebut tidak masuk akal karena itu artinya sebenarnya buruh bisa mengajukan Capres sendiri, bukan menitip nasib pada Capres lain.
“Bila buruh sudah menguasai 1,4 juta suara, maka berarti juga sudah menguasai jaringan produksinya sehingga sudah bisa maju sendiri sebagai Capres,” kata Danial di status Facebook-nya, Selasa (03/6). (Baca juga: Buruh Dukung Prabowo, Putri Widji Tukul Kecewa)
Said Iqbal juga adalah Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), serikat tingkat federasi yang tergabung dalam KSPI (konfederasi) dan menjadi motor mobilisasinya.
Sebagai catatan, Caleg DPR-RI asal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Iswan Abdullah yang maju melalui PKS di Dapil VII (Kabupaten Bekasi, Purwakarta, Karawang) Jawa Barat hanya mampu mengumpulkan 27.426 suara pada Pemilih Legislatif (Pileg) lalu. Sementara, jumlah anggota FSPMI di Dapil tersebut sekitar 100 ribu orang. Artinya, partisipasi anggotanya sendiri untuk memenangkan calegnya sendiri hanya sekitar 27 persen. Apalagi, dalam Pilpres kali ini harus memenangkan orang lain dari luar organisasi tersebut.
Dua Caleg asal FSPMI, Nurdin (PAN) dan Nyumarno (PDI-Perjuangan) berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Bekasi masing-masing dengan perolehan suara 10.981 di Dapil I dan 6.092 di Dapil VI yang tak menembus bilangan pembagi pemilih (BPP) yang berjumlah sekitar 27 ribu suara. Kemenangan tersebut diperoleh setelah seluruh jumlah suara caleg dan partai dijumlahkan sehingga bisa mencapai BPP, kemudian suara terbanyak diberikan hak untuk mendapatkan kursi. Daya kawal (jangkau) FSPMI terhadap TPS di Dapil 1 hanya 21 persen dari jumlah 985 TPS, yang artinya partisipasi relawan sebetulnya termasuk rendah jika dibandingkan dengan medan yang harus dihadapi. Di daerah-daerah lain, Caleg FSPMI gagal.
Seluruh jumlah suara yang berhasil dimenangkan oleh Caleg-caleg FSPMI di seluruh Indonesia pun tak sampai 100 ribu. Jadi, tidak ada dasarnya jika Said Iqbal mengklaim mampu menyumbangkan 1,4 juta suara untuk Prabowo. (Baca Juga: GSPB Tolak Semua Capres dan Bangun Partai Alternatif)
Apa Penyebabnya?
Terdapat sejumlah problem mengapa partisipasi buruh dalam pemilu tak bisa maksimal. Pertama, persoalan teknis dimana buruh tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan atau tak punya KTP domisili setempat. Hal ini bisa diatasi jika buruh sigap mengurus segala administrasi untuk memastikan diri bisa memilih, sebaik-baiknya secara kolektif.
Kedua, buruh memiliki pilihan lain, tidak mematuhi organisasi saat di dalam bilik suara. Hal ini, misalnya, bisa dilihat perolehan suara dari data 161 TPS di Dapil 1, yakni Nurdin (Caleg DPRD II) 5.910 suara, Rustan (Caleg FSPMI/PDI-P DPRD I) 4.275 Suara, dan Iswan (Caleg FSPMI/PKS DPR RI) 3.357 suara (pantauan FSPMI, 10 April 2014, jam 23.46 Wib). Selisih suara Nurdin dengan Iswan dan Rustan menunjukkan ada pemilih Nurdin yang tidak memilih Iswan dan Rustan. Ada 1.635 pemilih Nurdin yang tidak memilih Rustan dan 2.553 pemilih Nurdin yang tidak memilih Iswan di 161 TPS tersebut.
Caleg-Caleg FSPMI yang maju dalam Pileg 2014 diputuskan dari atas, bukan dari bawah melalui mekanisme pemilihan umum internal. Ini mengikuti tradisi birokratisme akut di serikat ini, padahal pimpinan FSPMI mengetahui perihal manfaat mekanisme Pemilu Raya internal ini karena mereka belajar dari go politic pada Omah Tani, di Batang, Jawa Tengah, yang menganjurkan Pemilu Raya internal sejak 2012. Tapi mekanisme demokratis tersebut diabaikan sama sekali.
Kemenangan Nurdin dan Nyumarno harus dilihat sebagai kemenangan massa anggota, bukan keputusan dari atas (birokratisme). Keduanya memiliki jejam rekam populer di kalangan anggota yang jikalau ada Pemilu Raya Internal dipastikan bisa terpilih. Nurdin mendapat julukan “Raja Toa” lantaran intens hadir di tengah aksi-aksi massa dan mampu berorasi begitu lama, terutama saat masa geruduk pabrik yang menjadi metode solidaritas yang sangat populer pada Mei-November 2012. Selain itu, Dapil 1, yaitu daerah Bojongmangu, Cibarusah, Cikarang Pusat, Cikarang Selatan, Serang Baru dan Setu, merupakan kantung domisili buruh.
Yang paling menyolok untuk dilihat sebagai kemenangan dari bawah adalah kemenangan Nyumarno. Ia awalnya adalah Caleg yang tak diakui dari FSPMI. Namanya tak muncul dalam daftar Caleg FSPMI saat launching perdana di Puri Ardhya Garini, 1 Juli 2013. Saat itu, Nyumarno masih bekerja sebagai staf Rieke Diah Pitaloka (RDP), anggota DPR RI Komisi IX. Nama Nyumarno muncul belakangan, mulai santer sebagai Caleg FSPMI setelah ia tidak lagi menjadi staf RDP, kemudian menjadi pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) FSPMI dan mengadvokasi buruh yang menjadi korban kekerasan mogok nasional jilid 2, 31 Oktober 2013. Jauh sebelumnya, ia mulai dikenal di kalangan massa buruh sejak tahun 2008. Ia memperjuangkan hak-haknya bersama buruh PT Kymco lainnya dengan cara mempailitkan perusahaan yang berhenti beroperasi tersebut, tampil sebagai orator dan pengurus SPAI-FSPMI, terlibat aktif dalam aksi geruduk pabrik, serta mengadvokasi berbagai kasus tingkat pabrik. Juga, posisinya sebagai staf anggota DPR RI dimanfaatkan untuk membantu advokasi buruh.
Meski bertarung di Dapil “kering” buruh, yakni Dapil VI (Cikarang Utara, Cikarang Timur dan Karang Bahagia), kekuatan bawah lah yang mampu memenangkannya. Hal ini bisa dilihat dalam masifitas kampanye dan pengumpulan suara dari TPS-TPS untuk caleg ini yang disebarluaskan di Facebook oleh para relawan. Jumlah suara yang dimenangkan sebetulnya sedikit, hanya 6.092 jika dibandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Dapil VI yang sebanyak 308.535 dan hanya 14,6 % dari jumlah seluruh perolehan suara PDI-P (partai + Caleg) Dapil VI yang sebanyak 41.704. Beruntung masih menjadi nomor dua perolehan suara terbanyak Caleg PDI-P di Dapil VI. Memang, persebaran perolehan suara Caleg di Pileg 2014 ini secara umum merata, yang menunjukkan tidak ada tokoh yang cukup kuat didukung oleh rakyat. Sementara, rekan-rekannya yang bertarung di Dapil yang lebih “basah” buruh, di Dapil II misalnya, tidak berhasil mendapatkan kursi. (Baca Juga: 18 SPA FSPMI Hijrah ke FSPS)
Caleg DPR RI yang disebut-sebut menjadi pilihan buruh adalah Rieke Diah Pitaloka (RDP) yang kembali mencalonkan diri dalam Pileg 2014 di Dapil VII Jawa Barat yang sama dengan Iswan Abdullah dan memperoleh suara signifikan, yakni 255.044 suara, melampaui BPP nasional yang berjumlah rata-rata 223.166. Kendati RDP juga sudah membuktikan kemenangannya di daerah buruh, yakni Kabupaten Bekasi dan Karawang pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun lalu, namun kemenangan di dua daerah tersebut hanyalah dalam pencoblosan belaka. Kenyataannya, tak banyak buruh yang hadir dalam pengawalan sengketa Pilgub di Mahkamah Konstitusi.
Dukungan buruh terhadap RDP tak berwujud mobilisasi massa, karena mobilisasi massa buruh masih dikendalikan oleh serikat-serikat buruh besar yang tidak mendukung RDP. FSPMI yang dikenal dekat dengan RDP karena bersama memperjuangkan jaminan sosial, tidak mendukungnya. Anggota FSPMI yang ingin mendukungnya tak dibolehkan membawa atribut organisasi. RDP hanya menguasai strategi atas saja, tidak strategi bawahnya. Barangkali, dengan posisinya yang strategis, RDP harus mempertimbangkan untuk membangun serikat buruh yang dipimpinnya sendiri sekaligus memastikan buruh mendapatkan pembelaan secara langsung dalam advokasi pabrik.
Ketiga, gerakan buruh tak punya pengaruh ke luar. Buruh bisa saja menjadi gerakan yang paling terorganisir yang bisa melakukan mobilisasi hingga 100 ribu, tapi tanpa dukungan rakyat, hal itu tidak akan ada artinya dalam politik secara keseluruhan. Persis seperti PKS yang paling sanggup memobilisasi kader sendiri dalam kampanye ke Stadion Gelora Bung Karno (GBK), tapi dalam Pileg hanya sanggup mendulang 6,79 persen suara dan gagal menjadi tiga besar.
Membangun persatuan yang lebih luas dengan sektor rakyat lainnya harus menjadi pilihan yang diambil jika buruh ingin meluaskan pengaruh politik dan memenangkan kekuasaan. Pernyataan pimpinan buruh yang menyebutkan isu rakyat lainnya (seperti pelanggaran HAM) tidak berhubungan dengan buruh adalah sepenuhnya tidak relevan dengan kebutuhan buruh yang harus berpolitik dengan melibatkan sektor rakyat berlawan lainnya, salah siasat.
Jadi, kembali lagi ke persoalan awal, KSPI tak mungkin memberikan sumbangan 1,4 juta suara pada Prabowo, kecuali ada faktor lain yang memungkinkan, misalnya dukungan logistik tak terbatas untuk memenangkan suara bawah dengan segala macam cara yang biasanya menjadi metode politik elit.