Solidaritas.net – Banyak kasus pelecehan seksual yang tak terungkap ke permukaan, karena sangat sedikit yang mau melaporkannya. Bahkan, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian sekalipun, banyak pula yang tidak diproses dan diusut tuntas hingga kasusnya selesai. Tak heran jika sampai saat ini banyak aktivis perempuan yang terus menyuarakan masalah ini. Termasuk salah satunya dalam kasus pelecehan seksual yang menimpa korban berinisial EP.
Korban, yang merupakan salah seorang aktivis perempuan itu, mengalami pelecehan seksual tersebut di Apartemen Kalibata City, Jakarta, pada 24 Juni 2015. Kasus itu heboh, karena juga ada korban lain yang mengaku dilecehkan tersangka yang sama. Namun, hingga saat ini, prosesnya masih mandek. Oleh karena itu, jaringan aktivis perempuan pun mendesak Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya untuk segera memproses kasus tersebut.
“Tidak ada lagi alasan bagi Polda untuk tidak melanjutkan kasus ini, karena sudah ada tiga alat bukti yang cukup, yakni kesaksian korban, rekaman CCTV, dan keterangan pelaku itu sendiri. Ironisnya, pelaku mengakui perbuatannya tersebut di hadapan para polisi juga ketika proses BAP,” ujar pendamping EP, Yohana Wardhani dari Magenta, seperti dikutip Solidaritas.net dari siaran pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa (14/7/2015).
Menurutnya, selama ini kebanyakan orang, termasuk pihak kepolisian memandang bahwa pelecehan seksual bukanlah kasus yang serius, sehingga hak korban seringkali terabaikan. Kenyataan ini pula yang turut mendorong semakin banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual. Padahal, dalam kasus EP ini, korban bersama pihak-pihak yang mendampinginya sudah membuat laporan dan pengaduan ke Polda Metro Jaya pada hari terjadinya kasus itu.
Namun, anehnya pihak Polda Metro Jaya malah melimpahkan tersangka ke pihak imigrasi. Karena mereka menilai tersangka, yang merupakan warga negara asing dari Irak, sedang mencari suaka di Indonesia dengan izin dari PBB. Oleh karena itu menurut Polda Metro Jaya, kasus ini seharusnya ditangani oleh pihak imigrasi dengan mengembalikannya ke negara asalnya.
“Padahal, wewenang imigrasi, ya hanyalah untuk menindak pelanggaran keimigrasian, sedangkan untuk pelanggaran KUHP seperti yang terjadi dalam kasus ini, adalah tetap merupakan ranah polisi. Dan polisi seharusnya sudah paham benar tentang itu,” terang Veronica Koman, pengacara publik dari LBH Jakarta pula, yang turut mendampingi korban.
Ditambahkannya lagi, hukuman dalam bentuk deportasi seperti yang disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, beberapa waktu lalu, sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam kasus ini. Pasalnya, itu akan melanggar prinsip internasional non-refoulement, yang mengatur bahwa setiap negara dilarang mendeportasi pencari suaka.
“Ketidakmengertian Kombes Krishna mengenai prinsip ini bisa menggiring opini publik, bahwa seolah-olah pencari suaka itu kebal hukum, padahal tidak. Maka kami minta kepada Polda Metro Jaya untuk segera mengambil alih lagi kasus ini dari keimigrasian, untuk kemudian kembali memproses kasus ini,” tegas Veronica dalam siaran pers LBH Jakarta tersebut.