Jebakan Litigasi Gerus Kekuatan Politik Kaum Buruh

Foto ilustrasi (kredit wikipedia.org)

Solidaritas.net – Sejak lahirnya UU no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pemerintah selalu mendorong buruh maupun serikat buruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan melalui mekanisme litigasi. Tahapan penyelesaian perselisihan yang dimulai dari perundingan tingkat bipartit, mediasi, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), hingga ke Mahkamah Agung.

Tidak hanya pemerintah, peran ini pun banyak dijalankan oleh Non-Government Organization (NGO), dengan mengucurkan bantuan dana kepada serikat-serikat buruh. Bantuan dan ini disalurkan dalam berbagai program pendidikan yang mengarahkan penyelesaian perselisihan melalui mekanisme litigasi.

Setelah reformasi, belum ditemui NGO yang bekerja sama dengan serikat buruh, memberikan program khusus pendidikan mogok kerja, pengorganisasian massa, rapat akbar, membangun aliansi massa, maupun aksi massa.

Seperti dituliskan oleh Asri Vidya Dewi SH, dalam mekanisme litigasi ini, hubungan antara buruh dan pengusaha dianggap setara. Meski dalam kenyataannya, hubungan antara keduanya tidaklah setara, buruh tidak memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang seimbang dengan pengusaha. (Baca: Polemik Hukum Acara PHI)

Konsekuensi bagi gerakan buruh yang berkutat pada mekanisme litigasi ini adalah hilangnya peluang untuk membangun kekuatan politik kaum buruh. Sebab untuk membangun kekuatan politik dibutuhkan perlawanan dalam bentuk gerakan massa yang sadar. Dan untuk membangun gerakan massa yang sadar, dibutuhkan pendidikan klas dan latihan-latihan, seperti mogok kerja, aksi massa, solidaritas antar pabrik dan aliansi massa dengan elemen lain dalam masyarakat. (Baca: Buruh Sebagai Pion Bukan Syarat Politik Alternatif)

Meskipun memahami mekanisme litigasi juga diperlukan, namun dalam rangka memberikan kesadaran pada kaum buruh tentang penindasan dan serangan-serangan kapitalisme, yang dilakukan melalui mekanisme dan perangkat hukum.

Contoh paling sederhana, aktivis buruh yang berkutat dalam mekanisme litigasi, meski memiliki integritas dan kapasitas, tidak akan dikenal luas oleh massa. Berbeda dengan advokat-advokat kaum borjuis yang lebih dikenal massa luas akibat pemberitaan (kampanye) media televisi, yang juga dimiliki oleh kaum borjuis.

Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin mengharapkan massa memberikan dukungan suaranya jika aktivis buruh tersebut hendak berpolitik? Selain persoalan rendahnya kesadaran politik massa akibat tidak adanya pendidikan politik, juga karena aktivis buruh tersebut tidak dikenal luas oleh massa.

Jika memilih untuk bergabung ke dalam partai-partai borjuis yang ada saat ini, maka persoalan dukungan suara dapat diatasi dengan politik uang. Membeli dukungan suara melalui sogokan-sogokan materi kepada massa, yang lebih mudah diterima akibat problem kemiskinan. Konsekuensi logis jika hal ini diterima oleh aktivis buruh tersebut adalah kehilangan integritasnya dan beralih mengabdi pada kepentingan partai borjuis tersebut.

Inilah alasan sebenarnya mengapa banyak pihak, terutama pemerintah selaku pelaksana kepentingan modal dan banyak NGO/LSM, terus mendorong buruh maupun serikat buruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan melalui mekanisme litigasi.

Jika kaum buruh tidak memiliki kekuatan politik, maka tidak mungkin kaum buruh dapat merebut kekuasaan politik. Dan ini berarti penindasan dan perampasan di bawah sistem kapitalisme, yang disahkan oleh hukum sebagai produk politik, dapat terus berjalan tanpa ada gangguan yang berarti.

Tinggalkan Balasan