Jika Upah Buruh Dibayarkan Tak Sesuai Perjanjian

Foto ilustrasi perjanjian kerja www.oranjob.com
Foto ilustrasi perjanjian kerja www.oranjob.com

Solidaritas.net – Upah merupakan salah satu hak dari buruh yang wajib diberikan oleh pemberi kerja atau pengusaha. UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 90 ayat (1) mengatur larangan bagi pengusaha untuk membayarkan upah buruh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Bahkan diatur sanksi pidana bagi pengusaha yang membayarkan upah buruh di bawah ketentuan upah minimum, namun bagaimana dengan buruh yang mendapatkan upah di atas ketentuan upah minimum yang berlaku?

Dilansir dari Hukumonline, besaran upah yang demikian harus sesuai dengan kesepakatan awal dalam perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Namun dalam konteks ini, tak jarang kita temui buruh yang memperoleh upah tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Memang tidak semua buruh mengalami hal ini, namun tak sedikit juga buruh yang mendapatkan upah lebih rendah dari nominal yang tertulis dalam perjanjian kerja yang telah ditandatangani.

Berdasarkan UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 1 angka 30, yang dimaksud upah adalah:

“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Dan menurut Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah pada pasal 10 ayat (1), ditentukan bahwa:

“Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian”

Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa upah buruh yang merupakan hak dari buruh harus dibayarkan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya, baik yang termuat dalam perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah disepakati.

Ketentuan lainnya dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 55 mengatur bahwa perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Ini berarti bahwa upah, sebagai bagian dari perjanjian kerja, tidak dapat dikurangi tanpa adanya persetujuan antara buruh dan pengusaha yang bersangkutan.

Jika terdapat kasus buruh yang tidak mendapatkan upah sesuai perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah disepakati, maka dikatakan telah terjadi perselisihan hak antara buruh dengan pengusaha. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, jika terjadi perselisihan hak maka mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh adalah perundingan di tingkat bipatrit, tripatrit (mediasi), hingga pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). (AY/RDN)

Tinggalkan Balasan