Job Fair Bukan Solusi Mengentaskan Pengangguran

0
Para pencari kerja (kredit foto www.fiskal.co.id)
Para pencari kerja (kredit foto www.fiskal.co.id)

Solidaritas.net – Pada 17 September 2015, MenteriĀ  Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, meminta penyelenggaraan pameran bursa kerja (job fair) di berbagai daerah diperbanyak, selain untuk mempercepat pengurangan pengangguran, juga untuk memudahkan korban pemutusan hubungan kerja mendapatkan kembali pekerjaan.

Hal tersebut dianggap belum menjadi solusi yang tepat, setelah mengetahui dua fakta berikut, pertama para pencari kerja harus membayar setiap kali mengikuti job fair. Kedua, kuota penerimaan pekerja tidak pernah sebanding dengan jumlah para pencari kerja yang membludag setiap tahunnya.

Perlu diketahui, dari pengalaman mahasiswa jebolan Universitas Negeri Makassar, Hadrianty Nasaruddin, yang kerap mengikuti job fair menyebutkan bahwa setiap pencari kerja yang ingin mengikuti job fair diharuskan membayar sebesar Rp.25.000,- untuk satu kali masuk area job fair.

Berdasarkan pengalamannya, dalam acara job fair yang Ia ikuti, sebanyak 200 orang melayangkan lamaran kerja ke Bank BCA dan lulus administrasi. Dari 200 orang tersebut, hanya 20-an orang saja yang dinyatakan lulus tes psikologi yang harus diseleksi kembali.

Apabila dikalkulasikan, 200 pencari kerja X Rp.25.000,- maka sama dengan Rp.5.000.000,-. Itulah keuntungan yang diraup satu perusahaan selaku pihak penyelanggara. Sementara pencari kerja banyak yang harus pulang dengan was-was, penuh harap agar diterima kerja, namun berujung mengecewakan karena fakta berkata lain.

Hal itu membuktikan bahwa solusi yang ditawarkan oleh Menaker Hanif, tidaklah menyelesaikan masalah pengangguran. Ditambah lagi data dari Badan Pusat Statistik, pada Februari 2008 yang mencatat 9,43 juta penganggur atau sebanyak 8,46 persen dari total penduduk. Pengangguran di tingkat SD-SMP berjumlah 4,8 juta orang, sedangkan di jenjang SMA-universitas mencapai 4,5 juta orang. Di sisi lain, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37% lulusan perguruan tinggi

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah sarjana (S-1) pengangguran pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, tepatnya Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau sekitar 626.200 orang. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi kita menjadi pengangguran.

Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Belum ditambah pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) terus meningkat. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Itulah alasan mengapa job fair tidak dapat disebut sebagai solusi yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Bj Habibie sendiri menyarankan agar pemerintah siapkan lapangan kerja karena tidak lain kebutuhan para pencari kerja adalah lapangan kerja.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *