Solidaritas.net, Jakarta – Pidato Presiden RI Joko Widodo dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (22/4/2015), sangat menarik untuk diperbincangkan. Secara tegas, Jokowi menyorot soal ketidakseimbangan global di antara negara-negara dunia saat ini. Dia pun menyindir sejumlah lembaga dunia, mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga lembaga ekonomi Bank Dunia, IMF dan ADB.

Disampaikan Jokowi, ketidakadilan, kesenjangan dan kekerasan global masih banyak terjadi, ketika semua negara mengharapkan lahirnya tatanan dunia baru yang berdasarkan keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Menurut Jokowi, keberadaan negara-negara kaya yang hanya sekitar 20% penduduk dunia, telah menghabiskan 70% sumber daya dunia. Apalagi, masih banyak juga negara kuat yang ‘menjajah’ negara-negara lemah, termasuk Palestina.
“Ketika ada sekelompok negara kaya merasa mampu mengubah dunia dengan menggunakan kekuatannya, maka ketidakseimbangan global jelas membawa sengsara yang semakin kentara ketika PBB tidak berdaya. Aksi-aksi kekerasan tanpa mandat PBB seperti yang kita saksikan telah menafikan keberadaan badan dunia yang kita miliki bersama itu,” ungkap Jokowi dalam pidatonya, seperti dikutip Solidaritas.net, Rabu (22/4/2015).
Menurut Presiden RI ke-7 itu, negara-negara di dunia, terutama negara-negara di Asia-Afrika yang telah berjanji untuk menuntut kemerdekaan bagi semua bangsa di kedua benua itu pada 60 tahun yang lalu, masih berhutang kepada rakyat Palestina yang hidup dalam ketakutan dan ketidakadilan akibat penjajahan. Jokowi menegaskan agar mereka tidak berpaling dari penderitaan rakyat Palestina dan terus memperjuangkan kemerdekaannya.
Kemudian, mantan Gubernur DKI Jakarta dan mantan Walikota Solo itu juga menyinggung soal keberadaan tiga lembaga ekonomi dunia, yakni Bank Dunia, IMF dan ADB. Jokowi menyebut pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, ADB adalah pandangan yang using dan perlu dibuang.
“Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya kepada tiga lembaga keuangan internasional itu. Kita wajib membangun sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Kita mendesak dilakukannya reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain,” lanjutnya di hadapan para pemimpin Negara Asia-Afrika yang hadir.
Di akhir pidatonya, Jokowi kembali mengingatkan soal tiga cita-cita yang dulu diperjuangkan oleh para penggagas KAA pertama pada tahun 1955. Yakni, kesejahteraan, solidaritas, serta stabilitas internal dan eksternal serta penghargaan kepada hak-hak asasi manusia.
Namun, pemerintahan Jokowi justru masih meminjam uang kepada Bank Dunia untuk membangun infrastruktur. Sebagaimana dilaporkan oleh Okezone, 27 Februari 2015, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil, mengatakan bahwa pemerintah meminjam uang dengan bunga 1 persen. Pihaknya, menolak membuka berapa besar jumlah pinjaman tersebut.
Padahal, peminjaman uang ke Bank Dunia mengandung sejumlah syarat yang harus dipatuhi oleh negara kreditur, termasuk menerapkan Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP meliputi privatisasi BUMN, membuka masuknya investasi ke semua sektor, pengurangan dan pencabutan subsidi, menaikkan tarif telepon dan gas, serta menaikkan harga BBM.