Jutaan Buruh Kehilangan Pekerjaan Imbas COVID-19, Pengusaha Wajib Penuhi Hak Mereka

0
Buruh mengenakan masker karena virus korona.

Solidaritas.net – Jumlah pekerja/buruh yang terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan akibat pandemi virus corona (COVID-19) terus melonjak naik. Data terakhir yang terpublikasi, sekitar 2 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, khususnya pekerja di sektor tekstil.

Laporan terakhir Kemerinterian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 kemarin, menyebut ada sekitar 2.084.593 pekerja/buruh dari 116.370 perusahaan yang di PHK dan dirumahkan imbas dari pandemi corona.

Mengutip Kompas.com, di sektor formal ada 1.304.77 pekerja/buruh yang dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara, yang terkena PHK mencapai 241.431 dari 41.236 perusahaan.

Baca juga: Alasan Virus Korona, Polisi Bubarkan Mogok Kerja Buruh AICE

Kebijakan perusahan ini dinilai banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak adil dan sewenang-wenang, mengingat hasil yang didapatkan tak sebanding dengan dampak virus yang baru menimpa Indonesia awal Maret 2020 ini.

“Harusnya pengusaha tidak melakukan PHK dan merumahkan buruh tanpa tidak diberi upah. Itu pelanggaran HAM,” ujar Damiri, pengurus Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (F-SEDAR), kepada solidaritas.net saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Hal ini seperti yang dialami salah seorang buruh di  salah satu pabrik yang bergerak di bidang kosmetik dan kesehatan di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur.  Dia adalah pekerja/buruh tetap di perusahaan tersebut. Saat ini, dia sedang dirumahkan oleh pengusaha tanpa kepastian kembali kerja dan tanpa di upah.

“Saya dirumahkan tanpa jangka waktu yang tidak bisa dipastikan tanpa diberi upah. Pihak perusahan beralasan meliburkan karyawan  terkena dampak Covid-19 sehingga penjualan menurun drastis,” katanya kepada Solidaritas.net, Kamis (30/4/2020) kemarin.

Kebijakan memecat dan merumahkan buruh patut dipertanyakan dalam menghadapi dampak virus korona ini. Karena sebelumnya sudah ada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjan Nomor: M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan pekerja/buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19.

Surat Edaran Menaker yang terbit pada 17 Maret 2020 lalu itu, walau belakangan mendapat banyak kritikan, namun terdapat beberapa poin yang patut dipertahankan demi proteksi pekerjaan pekerja/buruh disebuah pabrik atau perusahaan dengan tidak mengabaikan hak-hak buruh untuk dipenuhi.

“Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerha masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besar-besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesua dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh,” tulis rilis yang ditandatangi Menaker Ida Fauziyah itu.

Pernyataan dalam surat edaran itu bisa digunakan untuk merundingkan hak-hak pekerja/buruh jika terjadi PHK yang tak terhindarkan dan bila dirumahkan. Ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Baca juga: PHK Sebelum Berakhirnya PKWT

Dilansir dari Hukumonline.com, jika pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai upah minimum sebagai imbas COVID-19, pengusaha pun dapat melakukan penagguhan pembayaran upah (jika pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai dengan upah minimum), dengan terlebih dahulu melakukan perundingan dengan pekerja/buruh atau serikat penangguhan tersebut.

Penangguhan pembayaran upah terhadap pekerja/buruh bukan berarti pengusaha mengabaikan kewajibannya. Pengusaha harus membayar selisih upah minimum selama masa penangguhan ini disepakati.

Agar, kebijakan pengusaha tidak serta merta bertentangan dengan ketentuan hukum perburuhan yang berlaku. Harus diupayakan mencari alternatifnya untuk tetap mempekerjakan pekerja/buruh dan mempertahankan usaha pengusaha sebagaimana disebutkan dalam surat edaran menaker.

Baca juga: Hak Buruh Perempuan Hamil yang Perlu Diketahui dan Harus Dipenuhi

Jika yang terkena PHK adalah pekerja/buruh dengan sistem kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),  dan apabila salah satu pihak menghakhiri hubungan kerja sebelum masa berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKTW atau berakhirnya hubungan kerja, bukan karena ketentuan sebagaimana dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka perjanjian kerja.

Sedangkan untuk pekerja/buruh dengan sistem kerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), jika terimbas COVID-19 dan di PHK, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau Uang Penghargaan Masa Kerjan Uang Pengganti yang seharusnya diterima sesuai dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *