Kampus Ini Bayar Gaji Buruh Cleaning Service di Bawah UMK

0

Mirza Asahan* | Solidaritas.net, Yogyakarta – Di selatan kota Yogyakarta terdapat kampus berpilar dua megah yang dikenal sebagai kampus matahari terbit. Namun, itu hanya nampak dari depan saja karena pekerja Cleaning Service yang menghabiskan waktu berjam-jam menguras keringat menjaga kebersihan kampus, ternyata dibayar jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK).

buruh tolak upah murah
Buruh menolak upah murah (foto ilustrasi). © Mantanburuh.wordpress.com

Sebut saja namanya Mas Bro, karena ia tak berani jika nama aslinya harus disebut di media, katanya kepada saya, Rabu, 21 Oktober 2014. Ia menuturkan gajinya hanya Rp.400.000 per bulan sebagai hasil bekerja dari jam 06.00 WIB sampai 02.00 WIB. Jika ia bekerja lembur dari jam 02.00 WIB sampai 21.00 WIB, maka ia baru bisa mendapatkan tambahan. Ia harus lembur paling tidak dua kali seminggu. Dari situ, Mas Bro bisa membawa pulang Rp.135.000 sebagai tambahan. Maka, ia akan mendapatkan Rp.535.000 sebagai hasil kerja keras ia selama sebulan ditambah dengan lembur berjam-jam.

Apa yang mendasari kampus Islami ini menggunakan buruh outsourcing, bukannya merekrut pekerja berstatus tetap saja? Barangkali karena buruh outsourcing untuk pekerjaan Cleaning Service dilegalkan oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Namun, secara moral ini tetap tak dapat diterima, faktanya pekerjaan jasa kebersihan eksis sepanjang kampus berdiri. Kesalahan berat lainnya, buruh outsourcing dibayar jauh di bawah UMK yang seharusnya sebesar Rp.993.484. Ini pelanggaran pidana!

“Apakah segitu cukup untuk keluarga?”

Itulah pertanyaan yang terlintas di kepala saya. Pertanyaan bodoh, yang sebenarnya, saya sudah tahu itu tak cukup untuk keluarganya, tapi saya ingin mendengarkan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri.

“Tidak cukup, ya, pandai-pandai saja kita mencari masukan lain. Kalau dapat proyek kecil-kecilan, misalnya mengambil presensi di kelas-kelas, membelikan makanan untuk para dosen. Dapat tambahan dikit-dikit untuk nambahi uang besin. Dapatnya tak lebih dari Rp.10.000,” tuturnya takut-takut, sambil mendelok kiri-kanan.

Para pekerja outsourcing di kampus ini ditampung di PT Mentari Prima Karsa yang ironisnya adalah unit usaha milik kampus.

“Kenapa tidak menuntut naik gaji?” tanyaku.

“Pernah kami menuntut gaji ke pihak perusahaan, tapi tidak diterima. Mereka katakan kalau tak ingin bekerja di sini, ya, sudah, kalian buruh, keluar.”

Ia melanjutkan sambil memperhatikan, waspada pada dosen dan pimpinan kampus jika ada yang lewat.

“Kami tidak melanjutkan tuntutan. Kami pikir lebih baik kerja di sini daripada tidak ada gawean (kerjaan).”

Kampus ini juga, katanya, sebagai sarang gerakan “Merah” yang tumbuh subur, namun tak ada solidaritas terhadap para pekerja. Setiap hari diskusi bergulir, tapi bungkam melihat pekerja mengepel sepanjang waktu.

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *