Jakarta – Banyaknya penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan oleh kalangan buruh membuat Komite III DPD RI menggelar rapat ahli (expert meeting).
Rapat yang membahas mengenai sistem pengupahan di Indonesia itu melibatkan pakar hukum perburuhan dan Dekan Universitas Indonesia (UI).
Anggota Komite III DPD, Abdul Aziz mengatakan sebenarnya PP itu sudah lama dinantikan oleh para buruh. Namun pada kenyataannya PP itu tidak sesuai dengan harapan buruh dan bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam PP tersebut disebutkan bahwa kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Dengan kata lain, penghasilan yang layak ini dapat memberikan jumlah pendapatan buruh mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar.
Kebijakan pengupahan dalam PP tersebut meliputi upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hal waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah pembayaran pesangon, dan upah perhitungan pajak penghasilan.
Dalam PP tersebut menyebutkan bahwa telah ditetapkan upah berdasarkan satuan waktu yaitu secara harian, mingguan, atau bulanan, dan atau satuan hasil. Untuk perhitungan upah sehari dengan ditinjau dari waktu kerja 6 hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 25, atau bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 21.
Sedangkan upah yang berpedoman pada struktur dan skala upah, ditinjau dari golongan, jabatan, masa kerja, dan pendidikan serta juga kompetensi.
Struktur dan skala upah ini wajib diberitahukan kepada buruh atau pekerja saat permohonan pengesahan dan pembaruan peraturan perusahaan atau pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan perjanjian kerja bersama.
Untuk upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang sudah disepakati antara pemimpin perusahaan dengan pekerja dan dibayarkan sesuai kesepakatan bersama juga. Hal ini telah disebutkan pada PP tersebut pada pasal 16.
Namun, penentuan kenaikan upah hanya berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghilangkan sama sekali peranan buruh untuk mengusulkan kenaikan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Pasal 43 Ayat 5 PP 78 Tahun 2015 juga menyebutkan bahwa komponen KHL akan ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun
Tidak heran sejak disahkan pada tahun 2015, gerakan buruh yang menolak peraturan tersebut tidak berhenti hingga kini.