Solidaritas.net, Karawang – Baru-baru ini, buruh dikejutkan dengan kasus pelarangan berwudlu yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT FCC terhadap buruh anggota Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang sedang mogok pada Senin (17/02) lalu.
Kontan ini mengundang reaksi dari berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut MUI, jika pelarangan berwudlu itu benar, maka itu bentuk penghinaan terhadap umat Islam (Fakta Karawang, 18/02/2014). Sementara, Aliansi Besar Karawang (ABK) melancarkan aksi protes di PT FCC.
Apa sebenarnya pangkal masalah ini hingga pihak perusahaan tega bersikap sangat pelit terhadap buruh yang ingin menunaikan ibadah?
Menurut Sekretaris FSPS, Koko Sanjaya, pangkal masalah ini berawal dari PT FCC yang melakukan pelanggaran Undang-Undang terkait penggunaan pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT).
“Sekitar bulan Juni 2012, Presiden Direktur PT FCC membuat pernyataan akan mengubah status pekerja PKWTT menjadi pekerja PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau tetap sesuai dengan nota pengawasan Dinas Tenaga Kerja,” kata Koko.
Diketahui nota Disnaker mengharuskan perusahaan mengangkat 596 pekerja kontrak PT FCC menjadi pekerja tetap.
“Dalam Perjanjian Bersama (PB) tanggal 24 Juni 2013 disepakati bahwa PT FCC tidak akan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap buruh sebelum ada kesepakatan tentang syarat-syarat pengangkatan. Namun, di antara PB 24 Juni menuju PB pengangkatan, pihak perusahaan melakukan PHK terhadap pengurus serikat dan 167 anggota yang seharusnya demi hukum berubah status menjadi PKWTT sesuai dengan nota dinas,” jelasnya.
Kemudian, buruh yang di-PHK tersebut mendirikan tenda perjuangan di depan PT FCC dan berjuang melawan PHK ilegal hingga saat ini.
Sebagai catatan, jumlah pekerja di PT FCC sekitar 2000an orang. Pekerja yang sudah berserikat berjumlah 1350 orang. Seharusnya jumlah sebesar ini cukup kuat untuk memperjuangkan tuntutan buruh, namun di FCC terdapat dua serikat. Serikat yang memiliki keanggotaan terbesar sebanyak 1100 orang tidak memberikan dukungan untuk perjuangan ini. (Rn)