Kebebasan Berserikat Penting bagi Buruh

Pekerjaan menghasilkan komoditas adalah pekerjaan manusia yang melakukan fungsi hidupnya sebagai manusia, bekerja. Dalam pengertian marxisme kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja sosial dan kerja produksi. Dalam melakukan kerja produksi, buruh sangat berperan aktif dalam hal menggerakkan roda-roda produksi untuk mendatangkan komoditas baru yang mempunyai nilai. Di dalam masyarakat kapitalisme, pekerjaan menghasilkan komoditi adalah pekerjaan untuk melangsungkan keberlanjutan hidup. Buruh yang merupakan aktor langsung kerja produksi seharusnya  mendapatkan jaminan kesejahteraan dari pengusaha berupa kebutuhan hidup layak buruh, memberikan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, upak layak, jaminan hari tua dan sebagainya.

Foto ilustrasi. SS dari Youtube (fair use)

Sebaliknya, buruh tidak mendapatkan apa yang seharusnya diterima, padahal buruh adalah pekerja yang mendatangkan keuntungan (profit) bagi pengusaha. Bahkan, ada banyak kasus di mana tuntutan buruh akan kesejahteraannya coba diredam oleh pengusaha melalui praktek pemberangusan kebebasan berserikat (union busting). Pihak pengusaha mengetahui jika serikat buruh adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak buruh yang dapat mengurangi keuntungannya.

Pengusaha khawatir buruh akan sadar ketertindasannya melalui proses belajar di serikat pekerja. Apalagi kalau serikat tersebut mampu memobilisasi kaum buruh untuk demonstrasi menuntut hak-haknya. Maka, tak heran kasus pemberangusan kebebasan berserikat (yang sejati) hingga kini dipraktekkan dengan banyak modus. Modus- modus itu di mulai dari memutasi, menuduh pencemaran nama baik (biasanya pengusaha mengkriminalisasi buruh dengan jeratan UU Informasi dan Transaksi Elektronik), pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, hingga memecat pengurus dan anggota serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB).

Di tengah kesadaran ekonomisme kaum buruh, keinginan buruh untuk berorganisasi/berserikat tidak lain hanyalah mencari “posisi aman” untuk bekerja, belum pada kesadaran politik yang lebih maju, misalnya mengambil politik kekuasaan dan mengambil alih alat-alat produksi milik kapitalis. Dalam keadaan demikian, buruh mengalami banyak kesulitan meluangkan waktu untuk berserikat karena tuntutan pekerjaan. Belum lagi ancaman-ancaman dari pihak pengusaha jika buruh lebih kelihatan aktif di serikat.

Padahal, dalam negara kapitalis pun lewat produk undang-undangnya sudah menjamin kebebasan berserikat, yang dalam praktek seringkali inkonsisten. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Selain diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, hak untuk berserikat dan berkumpul juga telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU HAM.

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 24 ayat (1) UU HAM:

“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Juga dalam ratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, konvensi tersebut diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998. Dalam konvensi tersebut memberikan jaminan kepada buruh/pekerja akan kebebasan mendirikan sebuah organisasi dan menjadi anggota organisasi untuk kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka.

Sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menjamin:

  1. hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja (Pasal 5 ayat 1: setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh);
  2. hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;
  3. perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat pekerja

Pasal 28 UU Kebebasan Berserikat menyebutkan ”siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal ini dikuatkan melalui pasal 43 yang menyebutkan jika melanggar pasal 28, maka “….dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,0 (seratus juta) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).”

Meskipun begitu, seringkali penanganan kasus-kasus pidana perburuhan ditolak oleh kepolisian. Kasus tersebut diarahkan ke jalur penyelesaian pelanggaran ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja setempat. Fakta ini semakin memperkuat lemahnya penegakan hukum perburuhan yang semakin menjauhkan buruh dari akses terhadap keadilan.

***

Tinggalkan Balasan