
Solidaritas.net, Bekasi – Seorang buruh PT Gunaparamita Primasatya mengalami kecelakaan kerja di pabrik pada tanggal 5 Juni 2015. Kecelakaan ini terjadi sekitar pukul 09.00 wib, saat buruh yang enggan disebutkan namanya tersebut sedang bekerja mengoperasikan mesin press di tempatnya bekerja.
Setelah kejadian tersebut, korban dilarikan ke Rumah Sakit Cibitung Medika untuk mendapatkan penanganan medis.
“Dokter menyarankan agar dilakukan skin graft (pencangkokan kulit yang diambil dari kulit paha –red.), namun keluarga saya menolak dan memilih untuk berobat jalan saja, dengan konsekuensi masa penyembuhan akan cenderung lebih lama” ucap buruh yang kini berusia 25 tahun itu.
Sebelumnya sebanyak 5 orang buruh di PT Gunaparamita Primasayta telah terlebih dahulu mengalami kecelakaan kerja di pabrik, yang besar kemungkinan merupakan indikasi dari lemahnya perhatian dan pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan yang memproduksi kardus tersebut.
“Perusahaan sudah memfasilitasi sarung tangan untuk seluruh buruh, tetapi jarang dipakai, soalnya kalo sudah dipakai, tangan jadi licin pas megang produk” ungkap buruh yang juga merupakan anggota serikat buruh FSPMI, yang kehilangan seorang anggota ketika Mayday 2015 kemarin.
Permasalahan K3 hingga saat ini masih belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun pengusaha-pengusaha yang ada di Indonesia, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
Seiring dengan masih maraknya kecelakaan kerja yang terjadi di pabrik-pabrik, melalui akun facebook-nya, Danial Indrakusuma memposting informasi yang sangat penting untuk diketahui, berkenaan dengan kecelakaan kerja yang ia kutip dari majalah Historia:
“Untuk Sebastian:
Maka, terbitlah UU No 33 tahun 1947 tentang pembayaran ganti rugi kepada buruh yang mendapatkan kecelakaan kerja. UU ini, dikenal sebagai “UU Kecelakaan 1947”, mulai berlaku tanggal 21 Juli 1947. Dalam bagian Penjelasan disebutkan: “Undang-undang kecelakaan 1947 ialah undang-undang sosial yang pertama ditetapkan di masa revolusi penuh…
(Semua itu atas upaya perjuangan S.K. Trimurti, Menteri Perburuhan pertama Republik Indonesia 1947, dan Wilopo, Menteri Muda Perburuhan 1947.)”
Atas nama kemanusiaan dan keadilan, semoga para pengusaha serta pemerintah Indonesia tergugah rasa kemanusiaannya, dan lebih memperhatikan lagi kondisi kerja kaum buruh di pabrik-pabrik, yang kerap diperlakukan tak manusiawi. (AY/WY)