Kekecewaan Buruh terhadap Serikat Pekerja

Bekasi – Menurunnya minat buruh dalam berserikat ternyata tidak hanya disebabkan oleh intimidasi dan resiko kehilangan pekerjaan. Kekecewaan buruh terhadap serikat pekerja dapat memicu menurunnya semangat buruh berserikat, bahkan penolakan menjadi anggota serikat. Dari tanggal 16 sampai 23 Januari 2017, Solidaritas.net melakukan wawancara dengan sejumlah buruh mengenai topik ini.

Konsolidasi anggota serikat.
(Foto: Solidaritas.net / CC-BY-SA-3.0)

Serikat pekerja dinilai kurang membela anggotanya sehingga buruh merasakan tidak ada bedanya berserikat atau tidak berserikat.

“Istilahnya, berserikat gak berserikat, kalau ada apa-apa, ya sendiri,” tutur buruh yang enggan disebutkan namanya.

Buruh yang bekerja di luar kawasan di daerah Cikarang Timur ini juga mengeluhkan menurunnya perlawanan buruh diakibatkan ketidaktegasan pimpinan serikat.

“Setiap aksi seolah-olah ada rekayasa kita kalah. Akhirnya semangat anggota di bawah menurun,” katanya lagi.

Faktor lainnya, kekecewaan muncul ketika dana organisasi diselewengkan dan tidak adanya transparansi. Anggota juga kekurangan pendidikan karena serikat pekerja tidak melaksanakannya secara intensif.

“Akhirnya ada istilah “mendingan buat istirahat dan buat keluarga”, menirukan perkataan rekan-rekannya di pabrik.

Soal transparansi, buruh berharap agar pengurus merincikan pengeluaran secara detail.

“Laporan pengurus di pabrik empat bulan sekali. Itu juga cuma uang masuk dan pengeluaran. Detail pengeluran tidak ada,” tutur seorang buruh berinisial DS yang bekerja di kawasan industri Delta Silikon.

Dia ingin mengetahui apa saja item pengeluaran bulanan serikat pekerja. Terlebih lagi jumlah iuran anggota telah berjumlah lebih dari Rp100 juta.

“Katanya setiap bulan serikat bayar cicilan mobil, padahal seingat saya dulu anggota sudah pernah patungan beli mobil Rp500 ribu per orang. Eh taunya ternyata dicicil,” keluhnya.

Buruh juga kerap mengeluhkan oknum pengurus yang mencari keuntungan atas nama organisasi dan jika anggota mengkritik, dianggap menentang.

“Berserikat dan berkumpul diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang, tetapi ketika masuk ke dalam serikat masih ada saja oknum yang mencari keuntungan atas nama organisasi. Apabila dikritik langsung dianggap penentang, padahal kritik tersebut sangat membangun,” kata Wisnu, buruh yang tinggal di Bekasi ini.

Seorang buruh mengecam serikat yang menurutnya, ujung-ujungnya menjadikan serikat pekerja sebagai lahan bisnis.

“Saya bukannya menjelekin, saya juga merasa dibantu. Tapi setelah berhasil dapat pesangon, tanpa ada kesepakatan sebelumnya dengan anggota tau-tau langsung dipotong 6 persen,” kata seorang buruh korban pemutusan hubungan kerja sepihak (PHK), yang menolak namanya disebutkan.

Buruh kontrak asal Pasuruan, Bob menuturkan serikat membiarkan terjadinya kontrak berkepanjangan, pemagangan dan upah di bawah upah minimum kota kabupaten di pabrik tempatnya bekerja.

“Sebenarnya sayang anggota serikat di tempatku kerja hampir 100 persen ikut semua, tapi sayang kekuatan yang besar dari anggota tidak mampu dimanfaatkan oleh pengurus,” imbuhnya lagi.

Masalah iuran, transparansi keuangan, kinerja pengurus dan partisipasi anggota menjadi kata kunci memahami situasi menurunnya minat buruh berserikat secara internal. Secara eksternal, serikat pekerja kerap dihambat oleh pemberangusan yang dilakukan oleh pemodal.

Saat ini, banyak serikat pekerja yang memberlakukan kebijakan potong iuran otomatis. Hal ini kerap menjadi alasan anggota untuk menyerahkan segala urusan kepada pengurus. Di saat yang sama, pengurus serikat pekerja kerap menolak kontrol anggota. Transparansi keuangan secara detail adalah bentuk kontrol tersebut, tapi kerap tak dilakukan.

Pengurus meniru struktur dan kepemimpinan perusahaan yang segala sesuatunya berada di tangan ketua sebagai pimpinan puncak. Padahal, dalam budaya membangun serikat yang demokratis, keputusan tertinggi seharusnya berada di dalam rapat pengurus. Keputusan strategis diambil bersama-sama dengan anggota.

Serikat Buruh Bumi Manusia (SEBUMI) berusaha keluar dari model kepemimpinan serikat pekerja konservatif. Dalam suatu diskusi pada awal Januari 2017, kepada Solidaritas.net, Saiful Anam, menuturkan upaya yang ia lakukan di tempat kerjanya.

“Iuran tidak lagi dipotong otomatis, sehingga pembayaran iuran tergantung kesadaran anggota. Rapat-rapat anggota selalu diundang, bahkan dulu kami melakukan referendum saat memutuskan keluar dari serikat yang sebelumnya,” kata Saiful yang bekerja di sebuah pabrik komponen otomotif di kawasan MM2100, Cibitung ini.

Setelah serikat baru berdiri, eksperimen menghidupkan partisipasi anggota ini belum begitu berhasil karena anggota justru banyak yang menolak dilibatkan. Mereka sudah terlalu biasa dengan pola “semua urusan harus beres di tangan pengurus”. Terlebih lagi, waktu mereka lebih banyak digunakan untuk lembur dan enggan menghadiri pertemuan konsolidasi, apalagi pendidikan.

“Mereka juga kebanyakan buruh tetap (karyawan tetap/kartap-ed) yang menolak memperjuangkan buruh kontrak. Saya malah diprotes saat memperjuangkan nasib buruh kontrak dan buruh magang,” tuturnya.

Menurutnya, serikat pekerja yang ideal harus mengembangkan nilai-nilai solidaritas di kalangan buruh dan membuka ruang demokrasi di internalnya.

Tinggalkan Balasan