Jakarta – Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah banyak menjerat korban karena dianggap mendistribusikan atau membuat informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Diskusi pasca revisi UU ITE /Solidaritas.net “CC-BY-SA-3.0” |
Salah satu korban UU ITE adalah buruh di PT Nanbu Plastics Indonesia, Saiful Anam. Pada April 2016, Saiful dilaporkan mencemarkan nama baik perusahaan karena menulis status tentang diusirnya seorang buruh kontrak perempuan dari dalam pabrik.
Saiful dipanggil pihak kepolisian dan status facebooknya di screenshoot sebanyak-banyaknya oleh polisi. Ia diancam jika masih memberitakan hal buruk di PT Nanbu, meskipun kabar tersebut benar.
“Ini jelas dijadikan alat oleh pengusaha untuk mengintimidasi saya. Bahkan polisinya membenarkan pengusaha dan meminta saya mengikuti prosedur,” tutur Saiful Anam dalam diskusi Dinamika UU ITE Pasca Revisi yang digelar di Penang Bistro Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (29/12).
Sampai saat ini kasus tersebut tidak jelas kelanjutannya, tetapi dalam perundingan upah belum lama masih disinggung oleh pihak perusahaan. Saiful merasa dirugikan, ketidakjelasan kasus ini membuat dia membuang waktu percuma.
“UU ini memang tidak ada manfaatnya, hanya membungkam kebebasan berekspresi bahkan bisa membuat seseorang kehilangan pekerjaan. Jadi, UU ITE memang harus dicabut,” tegasnya.
Dalam diskusi itu, pembicara dari Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF), Dhyta Caturani berpendapat terdapat relasi kuasa dalam UU ITE. Meskipun siapa saja diperbolehkan melapor tetapi dari deretan kasus yang ada, pelapor adalah mereka yang memiliki kuasa.
Relasi kuasa mempengaruhi setiap lini kehidupan. Mulai dari pendidikan sampai produk hukumnya dibentuk untuk kepentingan kelas berkuasa dan sangat cepat menghukum kelas tak berpunya, bukan berdasarkan pertimbangan kebenaran.
Sependapat dengan Dhyta, pembicara SAFEnet, Daeng Iful mengatakan pihak pelapor memiliki sumber daya dan posisi yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan, atau disebut juga sebagai “kuasa tak berimbang”.
Hal itu dibuktikan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), tercatat sebanyak 177 korban UU ITE, 144 diantaranya adalah laki-laki dan 33 perempuan.
Kasus-kasus yang ditangani SAFEnet diyakini hanya sebagian kecil dari kasus yang terjadi, karena dari data kepolisian menyebutkan di tahun 2015 sebanyak 285 orang telah dijerat UU ITE, dan 182 tahun 2016.