Serikat buruh memiliki beberapa bentuk. Salah satunya adalah serikat buruh di tingkat perusahaan. Serikat buruh jenis ini memiliki kelemahan dari sisi buruh. Tetapi mungkin menguntungkan dari sisi pengusaha yang menginginkan serikat buruh yang lebih kompromis terhadap keinginan pengusaha.
Dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja/serikat buruh, serikat buruh didefinisikan sebagai “organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”
Dalam UU ini juga dikenal empat bentuk serikat yakni serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam prakteknya, serikat buruh yang dibentuk di dalam perusahaanlah yang paling banyak beroperasi. Dinas Tenaga Kerja, tempat pencatatan serikat, juga menjadi lebih familiar dengan model serikat yang berada di dalam perusahaan.
Pada dasarnya serikat pekerja di tingkat perusahaan itu dibedakan menjadi dua, yakni, serikat pekerja di perusahaan yang memiliki afiliasi ke serikat maupun federasi di luar perusahaan dan serikat pekerja di tingkat perusahaan saja tanpa afiliasi ke manapun. Nah, kelemahan model serikat pekerja yang kita bahas di sini adalah model yang kedua ini.
Baca juga: Kerugian menjadi anggota serikat pekerja?
Serikat buruh hanya di tingkat perusahaan
Selain variasi bentuk serikat buruh yang sudah dijelaskan sebelum, serikat buruh juga mengenal perjenjangan di tingkat perusahaan, tingkat kota/kabupaten, tingkat provinsi sampai dengan tingkat nasional. Perjenjangan semacam ini diatur di dalam kebijakan internal serikat buruh yang bersangkutan.
Itulah mengapa ada beragam serikat buruh di Indonesia yang jumlahnya kian hari makin bertambah, walaupun di sisi lain jumlah buruh yang berserikat semakin menurun. Karena memang, serikat buruh ini adalah satu kelompok sosial yang dinamis, penuh dengan konflik dan perpecahan-perpecahan.
Ada juga serikat buruh yang memang hanya mau membangun serikat buruh di tingkat perusahan saja. Serikat buruh jenis ini, hanya berdiri di suatu perusahan tertentu dan tidak tertarik untuk bergabung dengan serikat buruh ataupun federasi di luar, dengan segala pertimbangannya.
Bagaimana jika sebuah serikat tidak ingin berafiliasi dan hanya di tingkat perusahaan? Ya, sah-sah saja secara hukum.
Salah satu sebab yang paling serikat kita temukan adalah, serikat pekerja tingkat perusahaan (SPTP) ini didirikan oleh pihak pengusaha sebetulnya. Bagaimana bisa? Ada dua penjelasan yang paling serikat ditemukan.
Satu, SPTP didirikan oleh pekerja yang memiliki posisi atau jabatan di perusahaan. Sebagian besar pengurusnya adalah pekerja-pekerja yang tergolong sebagai atasan, seperti supervisor, leader bahkan level manajer.
Tujuannya, membangun serikat buruh ini supaya perusahan itu terlihat memiliki serikat buruh dan mengakui kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi, biasanya sepenuhnya program-program serikat tidak boleh bertentangan dengan kebijakan perusahan, bahkan cenderung mendukung kebijakan perusahan, walaupun kebijakan perusahan itu merugikan buruh itu.
Dua, SPTP didirikan sebagai serikat tandingan saat ada gerakan pembentukan serikat buruh dari buruh-buruh yang benar-benar ingin memperbaiki kondisi kerjanya. Serikat buruh ini tergolong sebagai serikat buruh independen atau genuine. Serikat buruh independen dan ini biasanya memiliki hubungan atau afiliasi dengan serikat buruh yang ada di luar.
Tujuan serikat buruh tandingan ini tidak pernah secara tertulis dideklarasikan untuk menandingi serikat buruh independen yang sudah berdiri tadi. Serikat buruh tandingan yang di sponsori oleh pekerja pro pengusaha (pekerja aristokrat) bertujuan mendukung kebijakan-kebijakan perusahan juga.
Mereka juga akan lebih mudah merekrut buruh-buruh yang belum berserikat, mengingat posisi mereka sebagai atasan perusahaan. Dengan otoritas dan pengaruh, lebih mudah untuk menghimpun buruh agar masuk ke serikat tandingan itu. Tujuannya agar buruh-buruh tidak lebih banyak lagi yang bergabung ke serikat independen.
Selain itu, serikat buruh di tingkat perusahaan kemungkinan akan terisolir, tidak mengembangkan solidaritas di antara kelas buruh, tidak menjadi sarana sekolah bagi kaum buruh, tidak mendapatkan bantuan dari sesama buruh di luar bila terjadi pelanggaran hak. Pendek kata, tidak berfungsi sebagai serikat buruh yang seharusnya. Salah-salah hanya menjadi sarana perpanjangan tangan pengusaha dan sekadar alat menjadikan buruh semakin bungkam.
Baca juga: PHK Ratusan Buruh AICE Tidak Sah, Ini Penjelasan Serikat Buruh
SPTP independen?
Meskipun dalam prakteknya SPTP kebanyakan hanya berkiblat ke apa maunya perusahaan, tidak bisa juga dijeneralisir seluruh serikat tingkat perusahaan seperti itu.
Belakangan, mulai muncul serikat-serikat buruh tingkat perusahaan baru yang tidak puas terhadap kebijakan serikat-serikat buruh besar yang ada sekarang yang berbentuk federasi maupun konfederasi. Biasanya buruh-buruh ini tidak mau ikut arus ke dalam federasi-federasi maupun konfederasi.
Contohnya, arus itu adalah mendukung elite-elite politik tertentu dalam perhelatan politik tertentu, seperti Pemilu atau Pilkada. Buruh-buruh anggotanya diarahkan untuk mendukung elite dan partai politik, bahkan dalam instruksi resmi organisasi tanpa mekanisme yang jelas. Satu-satunya sumber kebijakan hanya hasil deal-deal politik antara elite serikat buruh dengan elite partai politik.
Sementara, berbagai kebijakan elite politik selama ini tidak berpihak pada kepentingan buruh, bahkan merugikan kesejahteraan butuh. Sebut saja, pengesahan PP Pengupahan pada tahun 2015 dan pengesahan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja pada tahun ini.
Regulasi pemerintah semakin menjauhkan buruh dari upah yang didesain berdasarkan kebutuhan hidup layak. Belakangan, upah sektoral dihapus, pemagangan dipemudah, pembatasan outsourcing dihapus dan penggunaan buruh kontrak semakin fleksibel. Upah buruh semakin turun dan status kerjanya tak pasti. Nilai pesangon juga dipangkas habis-habisan. Proteksi terhadap buruh dihancurkan.
Melihat dinamika ini, sejumlah serikat buruh menjauhi dan lebih memilih membangun serikat di tingkat perusahaan. Tentu juga dipicu konflik yang bisa jadi bersifat personal, tetapi perbedaan fundamental dalam membangun organisasi dan arah politik menjadi pemicu yang paling sering.
Dalam prosesnya, SPTP ini berkembang dalam dinamikanya dan di kemudian hari membangun hubungan-hubungan sendiri dengan serikat lain secara genuine.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan serikat buruh tingkat perusahan. Hanya saja memang ada beberapa cacatan memang peenting di sini. Pertama, tujuan membangun serikat buruh tingkat perusahan ini, memang betul-betul hendak membangun serikat buruh yang independen.
Bukan untuk membangun serikat buruh papan nama saja atau serikat buruh yang di atas kertas namnya “serikat buruh”, tetapi sebetulnya mendukung kebijakan-kebijakan perusahan belaka. Bahkan dengan mengorbankan kepentingan buruh-buruh yang menjadi anggotanya.
Tentu saja kebanyakan buruh-buruh ini akan diam saja di hadapan serikat buruh pro pengusaha karena mereka sesungguhnya takut pada otoritas perusahaan, bukan pada serikat buruh itu. Mereka merasa selalu terancam dapat dipecat sewaktu-waktu apabila membantah keinginan perusahaan. Pasifnya buruh dimanfaatkan.
Kedua, walaupun serikat buruh tingkat perusahan ini tidak memiliki afiliasi resmi dengan serikat-serikat buruh di luar sana, tetapi, setidak-tidaknya harus memiliki jaringan/hubungan dengan serikat buruh di luar. Hubungan-hubungan itu dapat didasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat sektoral, misalnya serikat buruh di perusahan alat berat memiliki hubungan-hubungan juga dengan serikat-serikat buruh di perusahan lain yang sejenis.
Contoh, SPTP di perusahaan alat berat memiliki hubungan dengan serikat buruh lain di perusahaan-perusahaan yang juga produsen alat berat. Atau serikat-serikat buruh khusus komponen otomotif juga memiliki hubungan dengan serikat-serikat buruh lain yang juga berada di perusahan-perusahan otomotif.
Selain sektoral, kesamaan dalam membangun hubungan lebih maju lagi dengan melihat kesamaan cita-cita, tujuan, program, ideologi metode hingga cara kerja yang teknis. Yang jelas, hubungan-hubungan keluar harus selalu dikembangkan.
Ketiga, bahwa serikat buruh di tingkat perusahan mungkin hanya bersifat sementara. Ada fase penjajakan untuk menilai kembali hingga memutuskan untuk berafiliasi dengan serikat yang satu visi. Dalam hal ini adalah serikat buruh atau federasi atau konfederasi yang betul-betul memperjuangkan kepentingan buruh. Bukan serikat buruh sebagai alat untuk “karir politik” atau sebagai ajang karir untuk mendapatakan kekuasaan. Melainkan, betul-betul memang tujuan dari serikat buruh ini adalah membela kepentingan kelas buruh dan keluarganya melalui perjuangan ekonomi maupun politik.