Solidaritas.net – Tahukah Anda pabrik gula merupakan salah satu jenis pabrik yang pertama kali berdiri di Indonesia?. Bisa dibilang berdirinya pabrik-pabrik gula di tanah Jawa menandakan dimulainya kapitalisasi di Indonesia.
Pabrik pengolahan gula di Sidoarjo (sumber : fall nite) |
Dalam buku Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah hasil tulisan Bambang Sulistyo, sebelum tahun 1870 berdiri sejumlah pabrik gula sederhana untuk mengolah panenan tebu, yang termasuk dalam komoditi program tanam paksa.
Kemudian pabrik gula mulai bermunculan dan berkembang pada tahun 1870, hal ini dibarengi dengan pengumuman pihak pemerintah Belanda yang menyatakan Indonesia terbuka bagi modal asing.
UU Agraria pun mulai diberlakukan dengan dalih memberikan perlindungan ekonomi penduduk bumi putra. Melalui UU Agraria pemerintah melarang bangsa asing membeli tanah milik penduduk dan penduduk diberi sertifikat sebagai bukti jaminan perlindungan hukum atas hak milik tanah yang telah digarapnya.
Akan tetapi, dengan UU tersebut pemerintah justru menegaskan bahwa tanah yang tidak digarap oleh penduduk adalah milik pemerintah. Ini sangat merugikan penduduk, karena banyak tanah yang berdasarkan adat adalah milik penduduk malah dinyatakan milik Negara karena tidak menunjukkan bukti-bukti.
Padahal tradisi pada masa itu belum megenal sistem pendaftaran tanah sehingga tidak ada bukti tertulis. Menurut hukum adat, yang berlaku saat itu hak milik sudah terbukti sah jika ada pengakuan masyarakat setempat atau tetangga
UU Agraria menyebabkan tanah milik penduduk yang diakui pemerintah menjadi sempit. Berbanding terbalik dengan tanah milik Negara yang semakin meluas, bagi pihak yang bermodal besar bisa menyewa tanah milik Negara paling lama 75 tahun untuk dibuka sebagai daerah perkebunan.
Bagi penduduk bumi putra, perusahaan perkebunan yang sebagian besar adalah perkebunan tebu merupakan sebab dari timbulnya penderitaan dan kesengsaraan. Penduduk bumi putra tidak begitu saja menerima perkembangan ini. Olehnya, pada masa itu banyak dijumpai gerakan protes seperti pemberontakan, perampokan, huru-hara, dan pembakaran perkebunan tebu.
Pada masa itu, daerah dengan penduduk yang padat merupakan sumber tenaga kerja yang murah. Di pedesaan , pengolahan perkebunan dapat meghemat sejumlah biaya dengan mengerahkan penduduk untuk melaksanakan kerja wajib dalam pekerjaan tertentu. Seperti, pembuatan saluran irigasi, jembatan, jalan dan beberaapa infrastruktur lainnya.akan dikenai hukuman kurungan.
Di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta), pada tahun 1888 terdapat 45 jenis pajak dan harus menjalani kerja wajib paling sedikit 150 hari setiap tahun. Bila kuli kenceng (petani pengarap yang memiliki tanah) tidak dapat melunasi pajak akan dicabut haknya sebagai pemilik tanah, dan bila tidak menjalani kerja wajib dapat dikenai hukuman kurungan.
Kerja wajib menjadi lebih sulit bila antara tempat tujuan kerja dan tempat tinggal terlalu jauh dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Pungutan pajak dan pengerahan tenaga kerja wajib yang berat itu dapat terwujud bila disertai dengan kekerasan yang menjurus pada sifat sewenang-wenang.
Kodisi itu tentu saja tidak memberi ketenangan dan kepuasan bagi individu. Untuk menghindari kondisi itu, kuli kenceng terpaksa menjual tanahnya, meninggalkan desa untuk bekerja di perkebunan.
Kadang secara sukarela disertai ancaman dari kepala desa atau atasannya, diadakan perjanjian sewa tanah dengan perkebunan. Kekuasaan kepala desa memang dimanfaatkan oleh pengusaha perkebunan untuk memperoleh tanah sewaan, pengumpulan tenaga kerja, pengawasan pekerjaan dan pengamanan perkebunan.
Dengan menggunakan pengaruh kepala desa, harga sewa tanah yang semula ditentukan oleh pemerintah ditentukan pengusaha.
Di beberapa daerah seperti Cirebon, setiap tahunnya kepala desa menyisihkan areal sawah untk perkebunan tebu sebelum membagi dan menyerahkan kembali tanah yang disewa perkebunan kepada penduduk.
Atas nasehat kepala desa, masyarakat desa mempercayakan kontrak-kontrak kerja dan sewa tanah kepada pengusaha. Masyarakat desa tidak berani mengambil resiko bertentangan secara terbuka dengan kepala desa yang dianggap sebagai ‘bapaknya’. Penduduk desa memilih cara yang paling aman untuk menjamin keselamatan hidup bersama keluarganya.