Solidaritas.net – Ratusan ribu buruh setiap harinya berbondong-bondong menyetir kendaraan menuju pabrik (tempat dimana buruh bekerja), begitu juga dengan pulangnya ke rumah masing-masing. Pemandangan ini mudah ditemukan di daerah kawasan industri seperti Cikarang. Ini bukan karena permasalahan terlambat bangun atau malas bangun pagi. Tetapi ada salah satu hambatan yang nyata, dihadapi dan terjebak di situ pada setiap harinya.

Salah satu contoh buruh yang bekerja di area Kabupaten Bekasi, yang jam masuk kerjanya di pagi hari, dengan antrian kemacetan kendaraan di jalanan, selalu mengalami hal yang terus-terusan dan membosankan ini. Berkendara, tenaga sudah terkuras saat berhadapan dengan mesin pabrik, ditambah lagi dengan suasana yang menaik-turunkan emosional. Para buruh harus tepat waktu masuk ke pabrik, karena sudah di atur dalam peraturan kerja dan jadwal tertentu.
Apalagi ketika saat macet tiba-tiba mengalami perubahan cuaca, seperti hujan deras dan panasnya terik matahari, terasa hal yang tidak menyenangkan itu lebih sempurna melengkapi seluruh kesusahan di dalam perjalanan. Belum lagi begal yang semakin meresahkan jiwa dan menambah stres.
Di satu sisi, situasi ini kemungkinan bisa di pandang dengan pikiran yang positif yang dirasa sebagai sebuah “manfaat”. Apakah benar kemacetan ini ada “manfaat”-nya? Bisa disimak di bawah ini:
- Secara tidak langsung membiasakan uji kesabaran
Menunggu antrian yang panjang dalam kemacetan dihadapi dengan penuh rasa sabar agar bisa lewat, menjalankan kendaraan sangat pelan, bahkan lebih cepat jalannya pejalan kaki. Tapi, salah-salah ini namanya bukan kesabaran, melainkan kepasrahan pada kondisi macet.
- Melatih “manajemen” waktu
Dengan hal yang sudah keseringan terjadi, juga melatih untuk memperkirakan resiko pada kemacetan. Mendorong perubahan pola pikir untuk bisa menjadwalkan waktu, mencari cara untuk berangkat lebih awal, menghindari kemacetan dan bagaimana sampai ketempat tujuan dengan tepat waktu. Secara tidak langsung, jam kerja jadi bertambah karena waktu tersita di jalanan. Jam kerja disebut hanya 8 jam per hari, tapi dengan kondisi macet, bisa mencapai 10-12 jam, belum ditambah lembur. Salah-salah bisa 15 jam sehari di luar rumah. - Rasa “toleransi” terhadap orang lain
Rela memberikan dan membukakan jalan bagi pengendara lainnya yang ingin cepat-cepat menerobos masuk. Toleransi ini lama-kelamaan menjelma menjadi pasrah jika hak-haknya dilanggar oleh pengendara lain. - Stamina tubuh meninggkat
Perlu di perhatikan juga bagi para buruh yang kurang melakukan olahraga, bahkan tidak pernah lagi berolahraga. Jelas hal itu terjadi dikarenakan rasa lelah dan sibuk untuk mengurusi pekerjaan rumah yang sampai-sampai tidak memiliki waktu luang untuk melatih tubuh agar tetap sehat. Namun, secara tidak langsung pada setiap harinya buruh yang berkendara telah melakukan gerakan tubuh, menarik gas, menginjak rem dan melatih pernafasan. Namun, apalah artinya berolahraga di tengah-tengah polusi udara yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru. - Berani mengambil keputusan
Dalam keadaan yang terdesak, ada pula cara-cara yang dilakukan dengan penuh keberanian. contohnya seperti mengambil jalan pintas, meski itu jembatan kecil yang membahayakan tetap juga diseberangi, menaikan sepeda motor ke tepi jalan yang tinggi (trotoar) untuk dilalui dan bahkan melawan arah jalur. Nah, di sisi lain, ini namanya melanggar hak orang lain, misalnya dengan mengambil hak pejalan kaki, yang dapat membahayakan nyawa orang lain maupun diri sendiri.
Dengan beberapa manfaat kemacetan yang telah diketahui, tentu pastinya akan memunculkan ide-ide baru lagi, menghadapi kemacetan dan memikirkan agar bagaimana hal ini tidak lagi terjadi seterusnya. Tentu saja, hal ini hanya mungkin dengan mengorganisir kekuatan komunitas (rakyat) untuk menuntut penyelesaian kemacetan jalan. Siapa yang mau ikut?