Solidaritas.net – Pada dasarnya tidak ada aturan khusus yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja bagi difabel (penyandang cacat) untuk berbeda dari buruh yang lainnya. Namun pengusaha berkewajiban memberikan perlindungan sesuai jenis dan derajat kecacatannya.
Dalam pasal 5 pada UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diatur bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Aturan ketenagakerjaan menganut prinsip perlakukan yang sama (tanpa diskriminasi), yang sejalan dengan ketentuan dalam pasal 28 I ayat (2) pada UUD 1945.
“Setiap warga negara memiliki hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakukan diskriminatif tersebut”
Lebih lanjut, UU no. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (UU 4/1997) pada pasal 14 mengatur bahwa:
“Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.”
Bahkan dalam UU 4/1997 pada pasal 28 diatur mengenai sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan di atas, yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 UU 4/1997 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”
Sedangkan ketentuan yang mengatur kewajiban bagi pengusaha terhadap buruh penyandang cacat, tertuang dalam pasal 19 dan pasal 67 ayat (1), yaitu:
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Perlindungan bagi buruh penyandang cacat yang dimaksud di atas, misalnya berupa penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri di tempat kerja, yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan buruh yang bersangkutan.
Dari ketentuan-ketentuan yang ada di atas, tidak ada yang secara khusus mengatur kewajiban pengusaha untuk membuat perjanjian kerja yang berbeda bagi buruh penyandang cacat. Akan tetapi sebaiknya dalam perjanjian kerja tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang memastikan bahwa hak bagi buruh penyandang cacat terlindungi dengan baik dalam bekerja.
Kemudian secara khusus, bagi penyandang cacat tuna netra, perjanjian kerja harus dibuat dalam huruf Braille. Hal ini untuk memenuhi unsur-unsur dari perjanjian kerja itu sendiri, yaitu perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan. Sehingga buruh penyandang cacat tuna netra dapat mengetahui dengan pasti isi dari perjanjian kerja yang hendak disepakati.
Editor: Andri Yunarko