Ketentuan Tentang Mutasi Dalam Hukum Ketenagakerjaan

Foto ilustrasi (sumber www.bengkuluekspress.com)
Foto ilustrasi (sumber www.bengkuluekspress.com)

Solidaritas.net – Penempatan buruh pada suatu jabatan tertentu dan pada suatu lokasi kerja tertentu, merupakan salah satu isi dalam perjanjian kerja yang telah diperjanjikan sejak awal dimulainya hubungan kerja. Ketentuan tentang hal ini, dimuat dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 54 ayat (1) huruf c dan d, yang menyatakan bahwa perjanjian kerja secara tertulis antara lain memuat jabatan atau jenis pekerjaan dan tempat pekerjaan.

Sehingga pengusaha tidak dapat melakukan pemindahan penempatan kerja (mutasi) secara sepihak, tanpa adanya persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Demikian pula halnya, pengusaha tidak dapat melakukan pemindahan jabatan, baik itu berupa peningkatan jabatan (promosi) maupun penurunan jabatan (demosi), tanpa adanya persetujuan buruh yang bersangkutan.

Sebab perubahan terhadap kedua hal tersebut, yaitu jabatan dan tempat pekerjaan, termasuk sebagai tindakan merubah perjanjian kerja yang telah disepakati. Dasar hukum dari ketentuan ini termuat pada pasal 55 dalam UU Ketenagakerjaan jo pasal 1338 dalam KUHPerdata, yang menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dirubah sepanjang atas dasar persetujuan dan kesepakatan kedua belah pihak.

Pengecualian terhadap hal ini, dapat dilakukan jika terdapat klausul khusus yang mengatur tentang perubahan jabatan dan tempat kerja (mutasi) dalam perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya. Sebagai contoh, sering ditemui klausul dalam perjanjian kerja yang menyatakan bahwa buruh bersedia ditempatkan dimana saja sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Namun jika tidak diatur sebelumnya dalam perjanjian kerja, maka mengubah jabatan maupun tempat kerja secara sepihak dapat dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi atau mengingkari isi perjanjian kerja. Dan secara hukum, buruh berhak untuk menolak keputusan pengusaha secara sepihak tersebut, berdasarkan pada perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya.

Terkait dengan hal ini, UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 169 ayat (1) mengatur bahwa, buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika pengusaha memerintahkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang telah diperjanjikan. Terhadap pemutusan hubungan kerja yang demikian, pasal 169 ayat (2) mengatur hak buruh atas kompensasi berupa uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 ayat (4). (RDN/AY)

Tinggalkan Balasan