Ketika buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) akan melakukan aksi ke Yamaha selaku customer Trimitra pada 30 Agustus 2020, maka pihak pengusaha Trimitra menanggapinya dengan menyurati Kepolisian.
Dalam suratnya, Trimitra meminta Kepolisian agar membubarkan aksi FSEDAR serta menuduh aksi tersebut merupakan kepentingan pribadi segelintir orang.
Berikut isi permohonan Trimitra dalam surat Nomor 001/SK/TCH/VIII/2020 tertanggal 27 Agustus 2020:
Berdasarkan atas seluruh uraian di atas, dengan ini perusahaan mohon perlindungan hukum kepada Kepala Kepolisian Sektor Cakung agar:
- Membubarkan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh FSEDAR yang ditujukan kepada Customer Perusahaan yaitu PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing karena permasalahaan yang terjadi sudah berproses secara hukum.
- Memanggil penanggung jawab aksi unjuk rasa dari FSEDAR untuk dilakukan klarifikasi atas perbuatan dan tindakannya tersebut, agar tidak menimbulkan kesan bahwa yang bersangkutan adalah kebal hukum.
Dari isi surat ini, jelas sekali bahwa niat Trimitra tidak hanya ingin membubarkan aksi, tetapi lebih jauh lagi ingin “menggunakan” kepolisian untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengurus serikat. Kalau bukan disebut sebagai upaya yang mengarah pada kriminalisasi, paling tidak hal ini sudah dapat dianggap sebagai bentuk intimidasi.
Hal ini bukan terjadi kali ini saja, sebelumnya Trimitra juga telah melaporkan buruh kontrak ke Kepolisian dengan menggunakan delik pencemaran nama baik dalam UU ITE. Delapan buruh kontrak harus menjalani pemeriksaan di Polres Kabupaten Bekasi.
Membatasi Kebebasan Berekspresi
Trimitra mendasarkan pembayaran THR dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Bersama antara perusahaan dengan PUK SPAMK FSPMI yag sudah didaftarkan di pengadilan Negeri Bandung. Dalam hal ini, FSPMI merepresentasikan diri sebagai serikat yang memegang keanggotaan mayoritas di Trimitra.
Tidak peduli apakah perjanjian pemotongan THR itu bertentangan dengan Undang-Undang sesuai dengan lex superior derogat lex inferior. Asas lex superior ini telah diatur dalam Pasal 1137 KUHPerdata yang pada pokoknya melarang perjanjian dibuat apabila bertentangan dengan Undang-Undang.
Di masa pandemi ini, tidak satu pun peraturan pemerintah yang mengizinkan pemotongan THR. Yang ada hanyalah surat edaran menteri ketenagakerjaan yang memberi ruang penundaan atau penyicilan THR.
SE Menaker No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 justru meminta Gubernur untuk memastikan perusahaan agar membayar THR keagaam kepada pekerja atau buruh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih parah lagi, pengusaha Trimitra dalam pendapat, menganggap penyebaran angket sebagai upaya “menggagas, menginisiasi, membujuk, menggerakkan dan/atau memprovokasi”.
Padahal angket adalah daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan. Isian angket adalah pertanyaan, apakah sesungguhnya buruh setuju dengan pemotongan THR atau tidak.
Menuduh suatu pertanyaan (angket) sebagai hasutan adalah bentuk dari pembunuhan karakter terhadap kebebasan bereksperesi dan berserikat. Bahkan dengan tuduhan ini, Trimitra melakukan PHK terhadap pengurus SEPASI, serikat yang mempermasalahkan pemotongan THR.
Mengenai permasalahan delapan buruh kontrak di mana Trimitra memenangkan putusan pengadilan, tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menghambat kebebasan berpendapat seseorang. Bahkan warga negara boleh saja menggunakan kebebasan berekspresinya untuk mengkritik putusan pengadilan.
Apalagi, dalam kasus delapan buruh kontrak ini, masih ada permasalahan pengeroyokan terhadap buruh sebagai dugaan perbuatan pidana yang terjadi di depan perusahaan Trimitra. Sehingga tidak heran jika buruh masih akan terus menyuarakan permasalahan dalam hubungannya dengan Trimitra.
Juga, dalam suratnya, pihak Trimitra sempat-sempatnya menyatakan bahwa “kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pada dasarnya ditujukan kepada pemerintah dan lembaga negara yang ada di negara ini, bukan ditujukan kepada perusahaan atau sesama warga indonesia lainnya, tentu dapat dibayangkan akibatnya apabila Perusahaan mengajak seluruh pekerja yang ada untuk melakukan aksi serupa ke FSEDAR, maka sistem hukum di indonesia ini akan berantakan, karena semua orang dapat melakukan aksi unjuk rasa dengan berlindung di balik aksi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.”
Menanggapi ini, pertama, penyampaikan pendapat di muka umum bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja, selama dilangsungkan secara damai. Tentu FSEDAR juga akan mampu menghormati kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum apabila dilakukan di depan sekretariatnya sekalipun.
Jangan menganggap menyampaikan pendapat di muka umum sama nilainya dengan persekusi kelompok lain yang menggunakan cara-cara kekerasan.
Kedua, Trimitra adalah perusahaan yang memiliki kekuasaan, bukan anggota masyarakat biasa. Bahkan dewasa ini sudah berkembang suatu konsep di mana korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Hal itu karena perusahaan telah berkembang sedemikian, karena memiliki kekayaan yang besar, menjadi berkuasa.
Jika Trimitra memang mengerahkan pekerjanya untuk melakukan aksi serupa ke FSEDAR, maka hal itu jelas hanya akan dilihat bagaimana perusahaan menggunakan kekuasaannya atas pekerja untuk mencapai maksudnya. Bukankah dalam hubungan kerja didasarkan pada perintah kerja?
Serikat buruh tidak memiliki kekuasaan semacam itu. Sejak awal, serikat buruh didirikan sebagai alat persatuan pekerja, di mana pekerja dapat menjadi anggotanya atau tidak menjadi anggota. Sedangkan, buruh bekerja ke pemilik modal, suka atau tidak suka, mau tidak mau, karena harus menghidupi diri dan keluarganya. Pekerja tidak memiliki banyak pilihan.
Terakhir, dalam kode etiknya, Yamaha Global menyatakan: “Respect the rights of workers to associate freely, join or not join labor union, participate in protests and other such actions in accordance with local laws and regulations.” (Menghormati hak pekerja untuk berserikat secara bebas, bergabung atau tidak bergabung dengan serikat buruh, berpartisipasi dalam protes atau aksi semacam itu sesuai dengan hukum dan regulasi setempat”.