KHL di Kudus Lebih Rendah dari UMK, Pemerintah Salahkan Anggaran

upah murah
Foto ilustrasi. Sumber: berita8.com.

Solidaritas.net, Kudus – Hasil survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang dilakukan Dewan Pengupahan Kudus bulan September 2015 lebih rendah dari UMK(Upah Minimum Kota) 2015. Menurut Kepala Dinsosnakertrans (Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Kudus, Ludful Hakim, hal ini disebabkan karena pihaknya tidak memiliki anggaran untuk membeli barang yang disurvei.

“Sehingga untuk mengetahui harga, lazimnya dilakukan dengan bertanya kepada pemilik barang atau jasa. Padahal biasanya kalau hanya model bertanya, harga yang didapat cenderung dimurah kan. Kalau soal anggaran itu wewenangnya DPRD, kami hanya melaksa nakan saja,” ucapnya, sebagaimana dikutip dari koran-sindo.com, Selasa (15/92015).

Hasil survei KHL yang dilaksanakan September ini Rp1.368.381. Padahal, UMK 2015 sudah Rp1.380.000. Padahal, hasil survei KHL  yang digelar SPSI Kabupaten Kudus di empat pasar beberapa waktu lalu, nilainya jauh lebih tinggi yaitu mencapai Rp1.703.592.

Buruh di Kudus pun ramai-ramai melakukan aksi penolakan terhadap hasil survei KHL yang dilakukan Dewan Pengupahan Kudus tersebut. Aksi penolakan hasil survei KHL Dewan Pengupahan yang tidak mencerminkan situasi ekonomi terkini dan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok di suarakan oleh Gerakan Solidaritas Buruh (Gasibu) di depan Kantor Dinsosnakertrans Kudus pada hari Senin (14/92015).

“Sepertinya ini ada upaya untuk menggiring ke arah kebijakan upah murah bagi buruh,” kata koordinator aksi, Ahmad Fikri.

Dalam aksi itu, pengunjuk rasa mengusung spanduk bertuliskan ‘Tolak hasil survei KHL yang tidak sesuai kebutuhan riil buruh’ dan ‘KHL rendah hidup buruh tambah sengsara’. Pengunjuk rasa juga melakukan aksi teaterikal yang menggambarkan penderitaan buruh menanggung beban kebutuhan hidupnya.

Ahmad Fikri, mengaku geram dengan kinerja Dewan Pengupahan. Hasil survei KHL merupakan faktor terpenting dalam penentuan UMK. Jika UMK yang sudah sesuai KHL saja belum mampu menyejahterakan buruh, apalagi jika angkanya di bawah itu.

“Kami menyerukan kepada buruh di Kudus untuk menolak hasil survei KHL Dewan Pengupahan. Sebab, survei itu tidak riil dengan kebutuhan pokok buruh,” ujarnya.

Penolakan hasil survei KHL ini juga dilakukan Aktivis Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kabupaten Kudus Slamet Machmudi. Machmudi mengaku aktivitas survei Dewan Pengupahan memang dilakukan, tapi komponen yang menjadi acuan tidak sesuai dengan kebutuhan buruh.

“Dalam survei KHL saat ini, kuantitas komponen yang ada memang bertambah, dari 46 menjadi 60. Namun, secara kualitas jauh berkurang,” ungkapnya.

Machmudi juga menyoroti diabaikannya penerapan strutur dan skala upah. Idealnya semua buruh tidak dianggap masih lajang semua karena ada yang sudah berkeluarga bahkan punya anak.

“Kalau angka KHL sudah rendah, bagaimana nasib buruh. Ini jauh dari realitas kebutuhan yang ada,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan