Cikarang – Kondisi kerja kontrak adalah masalah umum yang dirasakan oleh pekerja formal di Indonesia yang berjumlah 46,6 juta. Lebih dari 70 persen buruh bekerja sebagai buruh kontrak. Pada umumnya mereka disebut sebagai “precarious workers” terdiri dari buruh kontrak, buruh outsourcing, buruh magang dan buruh harian dengan usia 18-25 tahun (atau kurang dari 25 tahun). Kisaran usia ini ditentukan oleh perusahaan sebagai standard rekrutmen. Mengorganisir buruh kontrak dkk adalah sama dengan mengorganisir barisan buruh muda. Tak terbantahkan lagi, kunci dari memajukan gerakan buruh secara politik ada pada pengorganisasian buruh kontrak (precarious workers).
Aksi memprotes pelanggaran hukum ketenagakerjaan di PT Hi-Tech Ink, Cikarang, 1 Desember 2016. |
Setelah buruh mencapai usia 25 tahun, hanya sebagian kecil dari mereka yang direkrut menjadi buruh permanen. Sebagian besar menjadi pengangguran atau memasuki sektor informal menjadi bagian dari 70 juta tenaga kerja Indonesia di sektor informal.
Buruh kontrak mengorganisir dirinya untuk menuntut pelaksanaan UU Ketenagakerjaan. Pengorganisiran ini terjadi di PT Nanbu Indonesia, PT Hi-Tech Ink, PT Setia Guna Sejati (SGS) dan PT Daesol Indonesia. Buruh menuntut diangkat menjadi buruh tetap dengan mengacu pada pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 yang membatasi penggunaan buruh kontrak untuk jenis pekerjaan tidak tetap, musiman dan produk baru yang masa kerjanya tidak lebih dari 3 tahun.
Seluruh buruh PT Daesol yang berjumlah 63 pekerja bekerja di bawah kondisi kerja kontrak. Pabrik PT Daesol yang berlokasi di kawasan Hyundai, Cikarang, Kabupaten Bekasi, telah beroperasi selama 6 tahun saat buruh mendirikan serikat pada pada 21 Agustus 2015. Buruh berunding dengan pengusaha sebanyak lima kali. Tuntutan mereka tidak dikabulkan. Pada 20 Oktober 2015, mereka melakukan pemogokan. Namun, mereka dipecat dan perusahaan menggantikan mereka dengan buruh baru sekalipun kebijakan ini mengganggu kualitas produk (not good).
Pada 28 Oktober 2015, buruh Daesol mengadukan masalah ini ke Toyota dan Kedubes Korea dengan berunjuk rasa. Pengusaha tidak mengabulkan tuntutan buruh dan menawari buruh kompensasi. Pengacara pengusaha menghubungi buruh satu per satu dengan tawaran pesangon. Setelah lebih dari sebulan mogok, buruh kehabisan uang dan menumpuk utang, sebagian besar dari mereka mengambil pesangon. Seorang buruh melaporkan, saat mengambil paklaring, ia mendengar informasi dari petugas satpam bahwa perusahaan tidak beroperasi karena Toyota telah menghentikan pesanan sun visor dan mengalihkan pesanan ke pabrik lain dari luar negeri.
Mujiyo, adalah seorang buruh yang bekerja sebagai supir di PT Hi-Tech. Ia bersama empat buruh lainnya bergabung ke Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) dan melaporkan pengusaha ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi yang mempekerjakan mereka berlima sebagai buruh berstatus kontrak. Bersama Komite Persatuan Rakyat (KPR) mengorganisir aksi solidaritas di depan PT Hi-Tech pada 1 Desember 2015. Setelah itu, Mujiyo berusaha mengajak buruh kontrak lainnya untuk berjuang bersama. Setiap hari ia mendatangi pabrik dengan membawa tanda ajakan ke lebih dari 200 pabrik di kawasan-kawasan industri di Cikarang.
Dalam proses perjuangan ini, Mujiyo dan buruh kontrak lainnya mendirikan Aliansi Buruh Kontrak Menggugat, sebuah wadah yang khusus mengorganisir buruh kontrak dan untuk memecahkan masalah-masalah buruh kontrak yang kerap mendapatkan diskriminasi dan kurang di perhatikan nasibnya di tempat kerja.
Belasan buruh PT TRC Industry dan belasan buruh PT Setia Guna Sejati (SGS) juga mengalami kondisi kerja yang sama, dipekerjakan sebagai buruh kontrak di bidang produksi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Mereka bergabung menjadi anggota PPMI dan menuntut penegakan UU Ketenagakerjaan terkait dengan kondisi kerja kontrak.
Di PT Nanbu Plastic Indonesia, jumlah buruh kontrak terus meningkat hingga hampir mencapai 50 persen. Pada 30 November 2015, Ketua Serikat Buruh Bumi Manusia (SEBUMI) PT Nanbu Plastic Indonesia, Saiful, menulis status Facebook yang menceritakan pengusiran seorang buruh kontrak perempuan dari pabrik. Buruh perempuan ini menolak berhenti kerja karena telah melaporkan perusahaan yang melanggar haknya untuk seharusnya dipekerjakan sebagai buruh permanen. Saiful dilaporkan oleh perusahaan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Perlawanan terhadap kondisi kerja kontrak berkembang dan disatukan dengan perjuangan melawan kriminalisasi terhadap aktivis. Selain Saiful, ada 23 buruh, seorang mahasiswa dan dua orang pengacara LBH Jakarta yang dikriminalisasi dengan tuduhan melawan hukum saat pembubaran aksi tanggal 30 Oktober 2015. Buruh menolak dibubarkan oleh polisi pada pukul 6 sore. Polisi membubarkan paksa dengan memukuli buruh dan menembakan gas air mata. Buruh ditangkap dan dibebaskan keesokan harinya. Kasus ini tidak berhenti, polisi mendakwa 23 pemprotes telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan ancama hukuman 4 bulan penjara. Saat ini, kasus ini sedang dalam proses persidangan di pengadilan Jakarta Pusat.
Pada 9 April 2016, buruh dan aktivis masyarakat sipil melakukan konferensi rakyat melawan dikriminalisasi di LBH Jakarta. Sebanyak 70 orang berpartisipasi dalam acara ini, termasuk aktivis Papua yang pernah dipenjara selama 10 tahun oleh Pemerintahan SBY, Filep Karma.