Kisah Hidup Buruh Pabrik Setelah Kenaikan Harga BBM

0

Solidaritas.net – Presiden RI Joko Widodo yang baru saja dilantik pada 21 Oktober 2014 lalu, akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter pada Senin, 17 November 2014. Kenaikan harga BBM bersubsidi itu pun memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat, termasuk kalangan buruh.

bbm naik rakyat menjerit
BBM naik, rakyat menjerit (Foto Ilustrasi). © Rimanews.com

Tiara Anggraini adalah salah seorang buruh yang merasakan dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Menurut buruh perempuan yang bekerja di salah satu pabrik di kawasan Cibitung, Bekasi, Jawa Barat itu, ongkos angkutan umum menuju tempatnya bekerja mengalami perubahan yang paling besar setelah kenaikan harga BBM bersubsidi. (Baca juga: Harga BBM Naik, UMP Harus Direvisi)

Setiap hari Tiara terpaksa harus merogoh uang lebih banyak untuk biaya ongkosnya dari rumah ke tempat kerja. Apalagi, dia harus dua kali naik angkutan umum dari rumahnya di Pekayon, Bekasi, untuk bisa mencapai tempat kerja. Awalnya, dari rumah dia berangkat ke kawasan Bulan-Bulan, Bekasi, dan kemudian menuju tempat kerjanya di Cibitung, Bekasi. (Baca juga: Buruh Depok Demo Tolak Kenaikan Harga BBM)

“Tiap naik angkot jadi nambah Rp. 2.000. Sama kayak harga bensin. Jadi, kini kalau bolak-balik bisa Rp 28.000 sendiri untuk ongkos,” ungkap Tiara, seperti dikutip dari Kompas.com.

Pantauan Solidaritas.net membenarkan ongkos angkot naik Rp. 2.000 untuk sekali perjalanan. Misalnya, ongkos angkot dari Stasiun Bekasi menuju Tambun yang sebelum kenaikan harga BBM hanya Rp. 4.000, naik menjadi Rp. 6.000.

Saat dulu harga BBM bersubsidi masih Rp 6.500 per liter, ongkos angkutan dari Pekayon menuju Bulan-Bulan hanya Rp 4.000. Sedang sekarang, ongkosnya naik menjadi Rp 6.000. Kawasan Bulan-Bulan adalah wilayah tempat singgahnya angkutan minibus dengan tujuan ke daerah industri seperti Cibitung dan Cikarang. Lokasinya tak jauh dari Stasiun Bekasi.

Dari Bulan-Bulan, Tiara menumpang angkutan minibus tersebut menuju tempatnya bekerja. Dulu sebelum harga BBM bersubsidi naik, dia hanya membayar sebesar Rp 6.000. Namun, sekarang ongkosnya menjadi Rp 8.000. Sehingga, dia pun sekarang terpaksa harus merogoh uang mencapai Rp 28.000 setiap harinya, hanya untuk ongkos transportasi saja.

Selain tarif angkot, menurut Tiara harga makanan pun juga sudah ikut naik sekarang. Biasanya, dengan uang Rp 10.000 dulu dia sudah bisa membeli makanan yang ada di kantin pabriknya. Tapi, sekarang dia harus mengeluarkan uang Rp 13.000 untuk makan siang. Biaya untuk transportasi dan makan itu tentunya tidak bisa dipotong atau dikurangi.

Begitu pula dengan pengeluaran rutin lainnya, seperti biaya listrik, kredit motor, dan kebutuhan bulanan. Sehingga, dia pun terpaksa memangkas biaya untuk pulsa dan anggaran menabung setiap bulannya. Apalagi, dengan gajinya yang masih standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bekasi, memaksanya untuk melakukan penghematan.

“Sejak BBM naik, aku krisis pulsa dan enggak rajin menabung,” tambah Tiara lagi, yang masih berharap Presiden Joko Widodo bisa memenuhi janjinya menyejahterakan rakyat.

Melihat fakta tersebut, bukan tidak heran jika para buruh begitu bersemangat dalam memperjuangkan haknya untuk mendapatkan upah minimum yang wajar dan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan begitulah mereka bisa terus bertahan hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *