Bekasi – Pelanggaran terhadap hak-hak buruh di pabrik es krim Aice, PT. Alpen Food Industry mulai terkuak satu per satu, seperti gunung es. Ada ratusan nasib buruh yang nasibnya tidak menentu, salah satu pemasalahannya terkait buruh hamil yang dipekerjakan pada shift malam (malam hari).
Sebab itu, diduga banyak sekali kasus keguguran anak dan kematian bayi di pabrik es krim akibat kondisi kerja yang tidak layak bagi pekerja perempuan yang hamil. Mereka kesulitan meminta atau mengurus surat izin cuti. Pun kesulitan mendapatkan pelayanan yang baik untuk tidak dipekerjakan pada shift malam.
Melansir pendataan Federasi Serikat Gerakan Buruh Demokratik Kerakyata (F-Sedar), sejak tahun 2019 lalu telah terjadi 20 kasus keguguran dan kematian bayi dari total 359 buruh perempuan yang bekerja di pabrik AICE. Dan baru diawal tahun 2020, ada tiga kasus yang menyusul.
Kedua kasus itu menjadi sebuah isu yang dialami buruh perempuan di pabrik Aice Group Holdings Ptd. Ltd., beralamat di Singapura tersebut. Induk PT. Alpen Food Industry ini, menurut Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokrasi Kerakyatan (F-Sedar), persoalan di pabrik terkait urusan perempuan sebenarnya sangat banyak, misalnya sulit mendapatkan surat keterangan dokter. “Kalau mengambil surat dari dokter di luar, itu nggak diterima. Perusahaan berpatokan pada dokternya sendiri.”
Indra Permana, Ketua Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI), mengatakan angka keguguran dan kematian tersebut terbilang cukup besar, apalagi itu hanya terjadi di satu pabrik. “Buruh perempuan hamil itu harus mengangkat beban kerja yang sangat berat, seperti di bagian packing. Bayangkan, roll bungkus plastik seberat 10 kg harus diangkat-angkat,” ujar Indra kepada solindaritas.net, Jumat (28/2/2020).
Indra bilang, ketika buruh hamil meminta izin non-shift, perusahaan selalu tidak mengindahkan dan mengarahkan harus ke dokter spesialis. “Buruh dibuat pusing, apalagi BPJS naik 100%, kantong buruh kan tipis, mana mungkin ke dokter spesialis.”
Apa yang disebut Indra, seperti yang terjadi baru-baru ini pada Rizkiyatul Jamilah – seorang buruh perempuan yang telah keguguran dua kali (kasus keguguran pertama terjadi pada tahun 2019). Riskyatul bekerja dibagian operasi mesin packing sejak pertama kali bekerja di PT. Alpen Food Industry. Dia baru dipindahkan dibagian lipat box (dus es krim) seorang diri setelah melaporkan bahwa dia positif hamil 4-5 minggu usia kandungannya.
“Pekerjaannya berat sekali, dia seorang diri duduk melipat box dengan dituntut target kerja yang tinggi,” terang Eka Dwi Astuti, pengurus SGBBI bidang perempuan kepada solidaritas.net.
Saat ini, Eka bilang kondisi Rizkyatul lemah dan trauma. Ia tidak berani melaporkan. Waktu Rizkiyatul masih bekerja di bagian roll plastic, kata Eka, dia harus mengangkat roll plastic seberat 10 kg.
Itu terjadi bukan hanya pada Rizkiyatul, namun hampir semua buruh perempuan (pun yang hamil). Mereka yang hamil harus mengikuti shift normal yang ditetapkan perusahaan. Setiap seminggu sekali diputar dari pagi, siang dan malam.
Arlini Aprilia – buruh yang telah bekerja di PT. Alpen Food Industry sejak 2018 – juga mengalami hal serupa. Dia bercerita bayinya yang meninggal didalam perut pada usia 8 bulan kehamilan hingga dioperasi sesar. “Setelah dievaluasi ternyata pengapuran, banyak pikiran, dan istirahat yang nggak tentu karena saya juga begadang malam,” kata Arlini.
Arlini pernah mengalami kesulitan saat mengurus cuti melahirkan. Dia disuruh tanda tangan perjanjian berisi “Kalau terjadi apa-apa, perusahaan tidak bertanggung jawab.”. “Itu hampir dialami semua buruh perempuan yang mengurus surat cuti,” tambah Arlini.
Saat ini, 600-an buruh es krim Aice sedang melakukan mogok kerja di depan pabrik sejak 21 Februari-30 Maret 2020. Pemogokan itu terjadi tidak saja perosalan upah buruh, namun masih banyak, mislanya terkait cek kosong senilai 600 juta yang dijanjikan pengusaha Aice terhadap buruh yang sejak tahun 2017 melakukan mogok.
Pingback: Ikut Mogok Kerja, Perempuan Pekerja Es Krim Aice ini di PHK Pabrik - Solidaritas.net