Solidaritas.net, Semarang – Tiga puluh dua orang buruh, Benedictus Sutiyasono, dkk, menggugat pengusaha PT Sandhy Putra Makmur ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang, akibat pengalihan hubungan kerja kepada perusahaan outsourcing. PT Sandhy Putra Makmur, yang berkedudukan di Jalan Sriwijaya no. 4, Semarang, mengalihkan hubungan kerja dengan buruhnya pada sebuah perusahaan outsourcing bernama PT Emesha.
Benedictus Sutiyasono, dkk, rata-rata telah bekerja selama belasan tahun di PT Sandhy Putra Makmur, dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (pkwt) yang terus diperbarui setiap tahunnya. Hingga pada tanggal 31 Desember 2012, Benedictus, dkk, diminta untuk menandatangani perjanjian kerja baru dengan PT Emesha.
Benedictus, dkk, merasa keberatan dengan pengalihan hubungan kerja tersebut, namun saat mepertanyakan hal tersebut, justru Benedictus, dkk, diberikan surat keterangan kerja oleh pengusaha PT Sandhy Putra Makmur. Dan sejak Januari 2013, pengusaha PT Sandhy Putra Makmur menganggap tidak lagi memiliki hubungan kerja dengan Benedictus, dkk.
Karena merasa diputuskan hubungan kerja (PHK), maka Benedictus, dkk menuntut pengusaha untuk membayarkan pesangon sesuai ketentuan dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun pengusaha PT Sandhy Putra Makmur menolak dengan alasan tidak ada kewajiban membayarkan pesangon dalam status hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) jika jangka waktunya telah berakhir.
Dalam perundingan bipartit dan mediasi yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang, tidak juga tercapai kesepakatan di antara kedua belah pihak. Sehingga Disnakertrans mengeluarkan anjuran agar pengusaha PT Sandhy Putra Makmur membayarkan pesangon terhadap Benedictus, dkk.
Karena tidak juga mendapatkan penyelesaian, Benedictus, dkk, mengajukan gugatan ke PHI Semarang. Dalam gugatannya, Benedictus, dkk, menuntut pengusaha PT Sandhy Putra Makmur untuk membayarkan pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 ayat (4) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu, Benedictus, dkk, juga menuntut agar pengusaha PT Sandhy Putra Makmur membayarkan upah selama tidak dipekerjakan (upah proses), terhitung sejak bulan Januari 2013 hingga adanya putusan hukum yang bersifat tetap.
Setelah memeriksa perkara, melalui putusan nomor 07/G/2014/PHI, tertanggal 17 September 2014, Majelis Hakim PHI Semarang mengabulkan sebagian gugatan Benedictus, dkk. Dalam putusannya, Majelis Hakim PHI Semarang menyatakan putus hubungan kerja terhitung sejak 31 Desember 2014, tanpa adanya kesalahan pada Benedictus, dkk.
Namun, Majelis Hakim PHI Semarang, hanya memerintahkan pengusaha PT Sandhy Putra Makmur membayarkan uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 161 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana ketentuan dalam pasal tersebut, justru mengatur PHK terhadap buruh yang melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.
Majelis Hakim PHI Semarang juga tidak mengabulkan tuntutan Benedictus, dkk, atas upah selama tidak dipekerjakan (upah proses), meski pasal 155 ayat (2) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan pengusaha untuk tetap membayarkan upah selama belum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap.
Merasa keberatan dengan putusan PHI Semarang, pengusaha PT Sandhy Putra Makmur pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun melalui putusan nomor 37 K/Pdt.Sus-PHI/2015, tertanggal 12 Maret 2015, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pengusaha.
Sumber website putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia