
Solidaritas.net, Jakarta – Pembakaran rumah ibadah terus terjadi. Tidak cukup kasus pembakaran masjid Tolikara pada bulan Juli lalu, terjadi pembakaran rumah ibadah gereja oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan berasal dari kelompok Pemuda Aceh Singkil Peduli Islam membakar sebuah bangunan Gereja Huria Kristen Indonesia di Desa Dangguren Kabupaten Aceh Singkil, Selasa (13/10/2015). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menuntut penghentian kebijakan diskriminatif rumah ibadah di Aceh dalam siaran persnya berikut:
Hentikan Kebijakan Diskriminatif Rumah Ibadah Di Aceh Singkil
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi kebijakan diskriminatif Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil terkait rencana pembongkaran gereja yang menimbulkan penyerangan dan pembakaran gereja oleh massa intoleran. Pada Selasa, 13 Oktober 2015, sekelompok massa yang mengatasnamakan berasal dari kelompok Pemuda Aceh Singkil Peduli Islam membakar sebuah bangunan Gereja Huria Kristen Indonesia di Desa Dangguren Kabupaten Aceh Singkil. Tindakan tersebut dilatarbelakangi penolakan mereka akan keberadaan gereja di desa tersebut. Hal itu memicu terjadinya bentrok lebih besar antara massa penyerang dan warga yang menjaga gereja yang menimbulkan korban 1 orang meninggal dan 4 korban luka-luka.
Peristiwa ini diawali kebijakan Bupati Aceh Singkil, Sapriadi SE, menyanggupi tuntutan kelompok intoleran untuk melakukan pembongkaran gereja yang jumlahnya melebihi kesepakatan. Pada Kamis, 8 Oktober 2015, bupati mengadakan pertemuan dengan warga untuk membahas kebijakan ini dan kebijakan ini ditolak oleh pihak gereja. 9 Oktober 2015, beredar pesan singkat berisi syiar kebencian (hate speech) yang memprovokasi warga untuk menolak keberadaan gereja di Aceh Singkil. Terkait ancaman tersebut, Pendeta Erde Berutu dari Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, sudah menyampaikan hal tersebut ke Bupati Aceh Singkil dan aparat keamanan untuk diberikan perlindungan. Namun bupati tidak merespon positif dan saat itu tidak ada jaminan tegas soal perlindungan keamanan dari pihak Polri. Bahkan pada Senin, 12 Oktober 2015, bupati mengadakan pertemuan dengan FKUB, DPRD Aceh Singkil, dan sejumlah ormas tanpa melibatkan pihak gereja dan mengambil keputusan untuk membongkar 10 gereja di Aceh Singkil. Kebijakan dan sentiman akan gereja ini yang akhirnya memicu penyerangan yang terjadi keesokan harinya.
Fakta di atas menunjukkan kegagalan Negara belajar dari pengalaman dalam menangani persoalan keagamaan yang berpotensi konflik. Belum berselang 4 bulan sejak terjadinya konflik keagamaan di Tolikara, Negara kembali mengulang pola diskriminasi dan kegagalan yang sama di Aceh Singkil. Kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif terkait rumah ibadah berpadu dengan ketidakseriusan Polri untuk memberikan perlindungan berujung menimbulkan konflik berlatar belakang keagamaan. Hal ini menunjukkan persoalan serupa tidak hanya bisa ditanggapi dengan reaksi reaktif pemerintah dan aparat keamanan pasca kejadian.
Presiden dan Menteri Dalam Negeri tidak cukup hanya memberikan himbauan toleransi tapi juga perlu membuat kebijakan atau regulasi untuk mencegah persoalan yang sama terulang. Perlu ada kebijakan yang membatasi ruang diskresi pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan soal agama agar tidak lahir kembali aturan-aturan diskriminatif hasil desakan politik lokal kelompok intoleran. Selain itu, Polri juga perlu membuat aturan internal yang berfungsi sebagai pedoman untuk menangani konflik dan potensi konflik keagamaan.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, sebagai langkah awal pasca konflik, KontraS mendesak lembaga-lembaga negara untuk:
Pertama, Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi kebijakan diskriminatif Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil terkait rencana pembongkaran gereja;
Kedua, Gubernur Nangroe Aceh Darussalam untuk mengkoordinasikan jajarannya menyediakan fasilitas tempat berlindung bagi warga Aceh Singkil yang mengungsi selama situasi keamanan belum kondusif;
Ketiga, Bupati Aceh Singkil untuk menghentikan upaya pembongkaran gereja dan mencari solusi bersama yang tidak mencederai hak asasi warga negara, khususnya hak untuk beribadah;
Keempat, Kapolri untuk menindak pelaku penyerangan dan pembakaran sembari terus menjamin keamanan bagi seluruh warga di Aceh Singkil dan warga dalam pengungsian;
Kelima, Komnas HAM untuk melakukan investigasi terkait dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa konflik dan diskriminasi di Aceh Singkil.
Jakarta, 14 Oktober 2015
Yati Andriyani
Wakil Koordinator Bidang Advokasi
Cp: Satrio Wirataru (085694359543)