Bekasi- Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Kamis (27/10) dikritisi korban undang-undang tersebut.
Ilustrasi kebebasan berpendapat (foto: Tech in Asia Indonesia) |
Di mata mereka, revisi UU ITE sama sekali tidak ada manfaatnya. Pasalnya, pasal 27 ayat 3 yang kerap dijadikan alat menjerat korban tidak dihapuskan. Selain itu, revisi justru semakin melindungi pemangku kebijakan untuk berlaku semena-mena.
“Revisi ini bisa fatal, orang yang berkuasa jadi semakin mudah mempermasalahkan orang ditambah lagi aparatur hukum yang berpihak pada kelas atas,” ujar salah seorang korban UU ITE, Saiful Anam.
Pendapat senada diungkapkan Furqan Ermansyah atau yang akrab dipanggil Rudi Lombok. Rudi Lombok sempat merasakan 14 hari di penjara. Dia divonis 10 bulan penjara dengan percobaan 1 tahun hanya karena mengkritik Badan Promosi Pariwisata Daerah Lombok di facebook. Sedangkan yang dikritik justru menjadi staf ahli menteri pariwisata.
“Revisi bukan solusi, poin utamanya adalah kebebasan bicara kita tidak dilindungi justru dikekang. UU ITE harus dihapuskan, konten tidak layak tidak bisa dijadikan alasan pengesahan UU ITE,” tegas Rudi saat dihubungi Solidaritas.net, Rabu (7/12)
Data kepolisian menyebutkan, ada 285 orang dijerat UU ITE sepanjang tahun 2015 dan 182 sepanjang tahun 2016.
Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), pasal ini ternyata lebih kerap digunakan untuk meredam ekspresi yang legitimasi (termasuk curhat dan keluhan) serta untuk membungkam mereka yang menyampaikan kebenaran termasuk informasi mengenai indikasi korupsi.
SAFEnet menjelaskan dalam perkara UU ITE pihak pelapor memiliki sumber daya dan posisi yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan, atau disebut juga sebagai “kuasa tak berimbang”. Misalnya aparatur negara melaporkan masyarakat umum, pimpinan perusahaan melaporkan pekerja/buruhnya, ataupun profesional penyedia layanan melaporkan konsumennya.
Revisi UU ITE sendiri mencakup mengenai penurunan hukuman dan tidak ada penahanan, kemudian seorang yang telah menyelesaikan sebuah masalah di masa lalu atau tidak terbukti bersalah oleh pengadilan, berhak untuk mengajukan penghapusan. Kemudian penghapusan informasi yang melanggar UU, serta penyadapan harus dengan izin kepolisian atau kejaksaan.
Berikut 4(empat) perubahan UU ITE :
Pertama mengenai penurunan hukuman dan tidak ada penahanan, pemerintah menurunkan ancaman hukuman untuk para terdakwa. Untuk kasus pencemaran nama baik, hukuman penjara diturunkan dari enam tahun menjadi empat tahun, dan hukuman denda pun diturunkan dari Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
Adapun untuk kasus ancaman kekerasan di dunia maya, pemerintah menurunkan ancaman hukuman penjara yang semula 12 tahun menjadi hanya empat tahun. Selain itu hukuman denda pun turun dari Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.
Ancaman kekerasan di internet kini masuk ke dalam kategori tindak pidana ringan dengan ancaman penjara kurang dari lima tahun menurut Pasal 21 KUHAP. Ini artinya, sang tersangka tidak boleh ditahan selama proses penyidikan.
Kedua, hak untuk dilupakan yakni seorang yang telah menyelesaikan sebuah masalah di masa lalu atau tidak terbukti bersalah oleh pengadilan, berhak untuk mengajukan penghapusan terkait informasi salah yang telah beredar di internet. Ini diatur dalam Pasal 26 UU ITE tentang hak untuk dilupakan (right to be forgotten).
Ketiga, penghapusan informasi yang melanggar UU, lewat Pasal 40 UU ITE, pemerintah telah menambah ayat baru yang menyatakan kalau pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang menyebarkan informasi pornografi, SARA, terorisme, hingga pencemaran nama baik.
Keempat, penyadapan harus dengan izin kepolisian atau kejaksaan, untuk dokumen elektronik hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah, asalkan dilakukan atas permintaan kepolisian atau kejaksaan. Hal ini kini tercantum dalam Pasal 5 UU ITE.