Kritik, Wujud Demokrasi Internal Serikat Buruh

Biasanya mengkritik pengurus yang menyimpang dari tujuan organisasi serikat pekerja adalah hal yang sulit. Namun, hal ini tidak terjadi di Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Karawang, karena adanya kebijakan mosi tidak percaya yang dapat dipergunakan anggota apabila tidak puas terhadap kinerja pengurus.

anggaran dasar SOBSI dan PBIR
Anggaran Dasar SOBSI dan PBIR.

Ketua PPMI Karawang menuturkan bahwa kebijakan mosi tidak percaya ini diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPMI.

“Setiap anggota berhak mengajukan mosi tidak percaya. Apabila ia mendapatkan dukungan 50 % anggota, maka pengurus bisa diganti,” jelasnya.

Baru-baru ini, salah satu serikat pekerja anggota (SPA) PPMI mengalami masalah penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus. Seorang ketua SPA membuat perjanjian yang menyetujui skorsing menuju pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pengurus.

“Saya langsung panggil anggota dan menjelaskan mekanisme mosi tidak percaya. Mereka langsung membuat pernyataan mosi tidak percaya yang ditandatangani oleh anggota. Untungnya perjanjian itu bisa diubah, pengurus hanya diliburkan saja,” katanya lagi.

Mengkritik pimpinan adalah hal yang sulit di kalangan serikat buruh di Indonesia masa kini. Tradisi ini menghilang sejak serikat buruh demokratis ditiadakan pada tahun 1965 setelah Suharto dan kekuatan militer, berkuasa. Satu-satunya serikat yang diakui pada masa itu adalah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang kebanyakan pengurusnya justru berasal dari jajaran manajer dan tentara.

Pada masa sebelum 1965, organisasi buruh jauh lebih berkembang ketimbang sekarang. Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) adalah serikat terbesar dengan keanggotaan 3,3 juta buruh atau 60 % dari total buruh pada masa itu.

Hak anggota mengkritik pimpinan dijamin sebagai bagian dari demokrasi internal. Dalam peraturan dasar SOBSI pasal 4 disebutkan salah satu hak anggota SOBSI adalah:

“Mengajukan usul-usul, keterangan dan kritik-kritik untuk kemajuan organisasi kepada segenap badan-badan pimpinan SOBSI dari bawah sampai ke atas.”

Nampaknya, model demokrasi internal ini adalah kelaziman di jaman itu. Misalnya lagi, Persatuan Buruh Industri Ringan (PBIR) memiliki kebijakan dalam anggaran rumah tangga di pasal 2, poin-poin di antaranya:

“Semua anggota berhak bersuara (mengkritik pimpinan) yang bersifat membangun; semua anggota berhak mengajukan usul-usul baik lisan maupun tertulis, begitu pula berhak memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pengurus; semua anggota berhak meminta pembelaan dirinya kepada pengurus yang tidak melanggar hukum; semua anggota berhak mengoreksi segala pekerjaan pengurus baik hak administrasi maupun keuangan atas seizin Dewan Harian.”

Kritik dijamin sebagai saluran ke atas untuk anggota menyuarakan ketidakpuasannya yang menjadi ciri khas serikat yang demokratik. Organisasi yang hanya diisi melulu dengan instruksi dan demokrasi perwakilan belaka adalah suatu model kepemimpinan top-down (atas-bawah) belaka. Anggota dianggap tabungan yang harus terus diisi oleh pengurus yang kedudukannya lebih tinggi, dari atas ke bawah.

Tokoh pendidikan terkemuka Brazil, Paulo Freire, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas mengkritik pendidikan “gaya bank” yang hanya menganggap kaum tertindas sebagai tabungan. Praktek-praktek pendidikan yang menekankan hubungan atasan-bawahan atau pengurus-bawahan, bertentangan kehendak pembebasan yang sedang diperjuangkan oleh gerakan itu sendiri. Inti dari pendidikan kaum tertindas adalah dialog. Kritik sebenarnya membuka dialog antara pengurus dan anggota mengenai persoalan-persoalan perjuangan.

“Dialog adalah suatu laku penciptaan, ia tidak boleh menjadi sebuah alat dominasi seseorang terhadap orang lain. Dialog haruslah dominasi terhadap dunia oleh mereka yang mengikuti dialog, yakni penguasaan atas dunia bagi pembebasan manusia…Watak pertama dari tindakan antidialogis adalah keharusan adanya penaklukan. Setiap tindakan penaklukan melibatkan seorang penakluk dan seorang atau sesuatu yang ditaklukan. Penakluk melaksanakan kehendaknya kepada mereka yang ditaklukan dan menjadikan mereka miliknya…” (tulis Paulo Freire)

Adapun yang menjadi ukuran dari keberhasilan pendidikan kaum tertindas adalah praktek pembebasan itu sendiri, seberapa ampuh hasil-hasil pendidikan membebaskan manusia dalam praktek perjuangan. Kenyataan sosial yang sedang diubah, berhasil tidaknya, adalah ukuran konkret. Kekalahan berarti mengisyaratkan adalah kesalahan-kesalahan yang harus diperbaiki. Ini hanya bisa ditemukan melalui kritik dan pembukaan demokrasi internal serikat buruh untuk memperoleh masukan-masukan, yang bukan sekadar ditampung belaka, tapi juga dilaksanakan.

Dengan demokrasi internal, kepemimpinan akan memiliki landasan yang lebih kuat karena ditopang oleh massa yang sadar untuk berpartisipasi. Oleh karenanya, mekanisme-mekanisme partisipatif, seperti rapat akbar, pemilu raya, kotak saran, referendum-referendum, dan pendidikan-pendidikan agar anggota mampu berposisi dan memberikan masukan, harus terus dikembangkan di internal serikat buruh.

Namun, sayangnya, masih banyak elit serikat buruh yang menyerang kritik sebagai suatu pembangkangan karena watak elit serikat buruh yang antidialog ini. Anggota-anggota pun menjadi takut mengungkapkan ketidakpuasannya dan mencari jalannya sendiri-sendiri.

Tinggalkan Balasan